Sabtu, 27 November 2010
SUDUT PANDANG
“Ud, migu bsk pulng ap g?, ibu, mbh ptri ma mbk mo k bali, k rmh bude kurti. Anaknya disunat d sna, km kut ap g?”. Itulah, sms yang hari ini membuat aku harus meninggalkan pekerjaanku yang sangat ku cintai. Ah, taka apa lah, tak bisa ku bayangkan jika ibu, mbak, dan embah putri, perempuan-perempuan itu, pergi ke bali dengan beban beberapa tas berisi pakaian masing-masing dan pakaian anak-anak, beberapa kardus berisi bekal makanan dan minuman di perjalanan dan oleh-oleh untuk kerabat di bali, lalu beberapa anak kecil yang selalu tidak mau diam, lari kesana-kemari, minta dibelikan apapun yang dijajakan para penjual, menangis berebut mainan yang baru saja dibelikan dan segala macam tingkah polah yang pastinya akan mampu membuat darah mengepul ke ubun-ubun kepala. Bayangku, betapa repotnya kalau tak ada laki-laki di sana, betapa repotnya kalau tidak ada aku yang turut hadir menjadi kuli gratis mereka. Betapa aku tak tega melihat perempuan-perempuan yang ku sayangi itu terkulai-kulai menenteng kardus-kardus dan tas-tas besar sambil berusaha marah-marah terus demi menertibkan anak-anak kecil. Perempuan-perempuanku itu, dengan kardus-kardus dan tas-tasnya harus tergopoh-gopoh mengejar bus yang tidak akan mau menunggu lama karena harus berangkat cepat-cepat. Perempaun-perempuan yang ku sayangi itu harus mengipasi anak-anak yang terus merengek karena sesak dan pengap ruang bus yang seperti oven, terus saja memanggang penumpang.Sesampainya di pelabuhan Ketapang, setelah mereka dan bus yang mereka tumpangi naik ke kapal laut. Akan ada beberapa kesulitan lagi yang harus dihadapi. Embah putri mabuk laut yang pastinya akan muntah-muntah tak karuan. Ibu yang akan mengurus embah putri dengan baik. Tapi, apa yang bisa dilakukan mbak yang sendirian dengan bayi lima bulan di gendongannya dan harus mengurus dua anak laki-laki kecil lainnya, adikku yang juga adiknya dan anaknya yang juga keponakanku. Pasti mbak nangis di tengah selat Bali karena ulah nakal anak-anak kecil bandel itu. Apa aku bisa tega membiarkan mereka berangkat tanpaku setelah membayangkan sedemikian sulitnya. Belum lagi para copet dan jambret yang pastinya tak akan pandang bulu, tak akan mau tahu kalau wanita-wanita itu sendirian dan sudah kesusahan dari tadi. Tak akan penjahat-penjahat itu mempertimbangkan bahwa sebagian dari mereka itu janda dan tidak memiliki uang yang cukup untuk dijambret. Tak akan mau berpikir para kriminal itu bahwa wanita seharusnya dilindungi dan bukan untuk dijajah dan dijadikan objek sasaran kekerasan. Tak akan mereka berpikir sepanjang itu, pikiran mereka sependek dan sedangkal duit koin. Makanya aku suka dengan orang yang suka mikir, karena memang harga penggunaan otak saat ini sudah begitu mahal, karena stok pasar menipis.Setelah sampai di pelabuhan Gilimanuk Bali, bus pengap akan berjalan lagi ke arah selatan, Denpasar. Bus berhenti di terminal dan perempuan-perempuan itu harus terseok-seok lagi menyeret-nyeret tas-tas dan kardus-kardus itu untuk mencari jasa transportasi umum dalam kota. Pasti terminal itu begitu asing bagi mereka, pasti mereka pikir sangat berbeda dengan ketika mereka berangkat di terminal sepi lengang kota kami. Betapa ramainya terminal ini, dan betapa bingungnya mereka saat itu. Perjalanan mereka yang tanpaku itu, betapa membuat mereka terlihat begitu mengenaskan. Maka, ketika ibu bersedia membayari biaya transportasiku, aku memutuskan untuk ikut saja menemani mereka. Mungkin aku tak akan kuat mengejar jambret yang kabur begitu cepatnya, mungkin aku tak akan begitu berguna dalam hal mengasuh anak, dan mungkin, juga tidak terlalu tangguh untuk bisa mengangkut semua barang sekaligus. Tapi, tetap saja, Harus ada laki-laki di antara mereka.Maka, hari ini dan tiga hari mendatang aku harus tidak bekerja, menemani mereka Goes To Bali.Ini di kawasan terminal kota kami. Dari para peserta keberangkatan kami, tinggal embah putri yang belum hadir. Beliau tinggal dengan pak lek di desa lain. Maka embah putri akan menemui rombongan kami di terminal ini, dengan diantar pak lek tentunya. Seperti yang sudah ku bayangkan, di punggungku tercantol ransel besar berisi berbagai pakaian, di samping kaki kananku tergeletak kardus besar penuh telur dan buah mangga sebagai oleh-oleh, sedangkan di sisi kaki kiriku juga tergeletak kardus besar berisi berbagai macam kue olahan sendiri yang bobotnya tak bisa dianggap remeh. Kesemuanya itu, tanggung jawabku, aku yang harus menentengnya kemanapun kami berjalan. Kalaupun ada yang hilang, berarti mereka harus menyalakiku, menyalahkanku, mendampratku. Tidak boleh selain aku.Bagian mbak adalah mengendalikan anak-anak dengan dibantu ibu. Sedangkan embah putri yang sebentar lagi akan datang harus membawa tas pakaiannya sendiri, mungkin hanya berisi dua pasang pakaian. Cukup enteng ku kira, tak perlu bantuanku untuk membawakannya.Sedangkan anak-anak kecil sudah mulai berlarian kesana-kemari, memaksa embak marah-marah yang membuat suasana menjadi lebih panas dari suhu yang seharusnya. Belum memulai perjalanan saja anak-anak itu sudah minta dibelikan bebagai makanan ringan, susu botol, soft drink, buah-buahan dan berbagai macam barang dagangan di kawasan terminal itu. Si bayi lima bulan yang dalam gendongan pun mulai menangis karena tak betah denga udara panas, dan suara bising dari berbagai pihak, termasuk bising yang keluar dari mulut ibunya sendiri. Keadaan mulai berantakan, kacau tak terkendali.Dan keadaan tambah kacau dengan satu kalimat pertanyaan yang keluar dari mulut pak lek, yang lurus tertuju padaku. “kamu kok ikut, apa punya uang?”. Tang..!!, langsung menepis habis kepalaku.Sebelumnya, mari saya ceritakan tentang pak lek ini. Bukan dari sifat-sifat baik dan buruknya, tetapi akan saya ceritakan tentang konektivitasnya dengan keluarga kami selain sebagai pak lek. Semenjak bapak meninggal dunia tanpa mewarisi apapun kecuali hutang, pak lek ini lah yang membantu menegakkan ekonomi keluarga kami sedikit demi sedikit hingga ibu bisa bangkit dengan kaki-kakinya sendiri dan tidak membutuhkan siapapun lagi untuk menghidupi dirinya sendiri dan adikku yang masih SD, hingga aku berhasil lulus MAN dan sekarang bisa bekerja untuk makan sendiri. Sekarang, keluargaku, keluarga ibuku mampu mandiri, mampu mengurusi semua hal sendirian. Tapi, bagaimanapun juga, masih tetap harus ada pria dewasa yang bertugas turut mengawasi semuanya. Itulah tugas pak lek sekarang. Pengawas.Dan ku kira, pertanyaannya barusan adalah hasil dari suatu proses evaluasi yang dia lakukan dalam hal perjalanan ke Bali kali ini. Khususnya pada ke-ikut-sertaanku yang tanpa biaya sendiri ini. Aku sudah lulus SMA sederajat, itu artinya aku tidak boleh lagi membebani ibuku dengan meminta uang terlalu banyak. Dan tentu saja pergi ke bali membutuhkan uang yang banyak, kesalahanku adalah tetap pergi walaupun tidak punya uang, hingga membebani ibu untuk hal biaya transportnya.…Bisa-bisanya dia ikut, sudah lulus sekolah masih saja ngrepotin orang tua. Tega-teganya minta uang sebanyak itu untuk ongkosnya. Seharusnya dia sudah tidak boleh meminta apapun lagi ke ibunya. Masakan tidak lihat dia, ibunya bisa menghidupi dan menyekolahkan adiknya saja itu sudah sangat luar biasa. Ibunya juga sudah bersusah-susah membayar hutang yang sedemikian banyak, juga sudah berhasil melunaskan semua tanggungan di sekolah hingga dia dapat ijazahnya. Masih mau apa lagi, untuk ukuran janda miskin, itu sudah lebih dari kapasitas. Tak boleh ada beban lagi.Apa dia tidak tahu sil-silah nenek moyang keluarganya, semua keturunan keluarga ini sudah mencari makan sendiri sejak usia lima belas tahun. Mereka mandiri dan terbiasa hidup susah. Mereka pejuang-pejuang kehidupan. Bahkan di pesantern dulu, aku tak pernah meminta kiriman dari orang tua, aku-lah yang malah mengirimi mereka uang dari sisa tabunganku, darimana aku dapat uang itu adalah pertanyaan lawas. Aku bekerja dan bekerja. Aku tak mau lagi membebani orang tuaku. Sekarang, dengan entengnya dia ikut-ikutan ke Bali minta di bayarin. Minta uang lagi, minta uang lagi, uang lagi, uang terus, uang terus, bahkan untuk hal yang tidak berguna baginya seperti bepergian ke Bali kali ini.Dan lagi, seharusnya dia masuk kerja. Apa dia kira bekerja itu sebegitu gampang untuk ditinggalkan. Awas saja kalau dia dipecat bosnya dan masih minta uang lagi ke ibunya, akan ku marahi habis-habisan dia. Memang gampang mencari pekerjaan di masa seperti ini. Awas kalau minta-minta duwit lagi. Keturunan keluarga ini tidak boleh ada yang semanja itu. Tidak boleh ada yang secengeng itu. Tidak boleh ada yang sebanci itu. Semua harus berjuang untuk apa yang dia butuhkan dan apa yang dia inginkan. Tak akan ada yang segampang uluran tangan orang lain. Kalau mau sesuatu, dia harus memperjuangkan itu sendirian. Tak ada cara lain.…Sesaat setelah pertanyaan yang serasa menyepak kepalaku itu, ku turunkan ransel dari punggung ku. “ sebaiknya aku nggak ikut saja “, kataku. Aku langsung berjalan ke arah angkutan umum yang sudah sangat siap berangkat, lalu aku turut meluncur bersamanya. Tak ku pedulikan suara ibu dan mbak yang memanggil-manggilku. Betapa mereka berdua kehilangan jasa kuli gratis. Pasti mereka berfikir, “lalu siapa yang akan membawa dua kardus besar dan ransel yang juga besar itu? “. Ah, pak lek berani mengusirku, pastilah dia punya solusi untuk itu. Walaupun aku tak kan bisa menebak solusi macam apa yang bisa diberikannya dalam keadaan itu, kecuali barang-barang itu ditinggal saja dan tidak jadi dibawa serta ke Bali. Akan terasa sangat aneh ketika mereka datang tanpa barang bawaan apa-apa. Entah lah… aku sudah lepas dari apapun. Bahkan untuk keluargaku, pak lek lebih berguna dari pada kehadiran diriku sendiri. Maka, keluargaku lebih membutuhkannya daripada aku. Aku akan hanya mengurusi diriku sendiri, asal tidak merepotkan ibu, itu sudah cukup....Kenapa pikirannya begitu pendek. Dia pikir aku ikut hanya karena membayangkan betapa senangnya perjalanan ke bali, seperti anak-anak kecil itu. apa dia kira aku masih anak kecil yang ketika ibu bilang mau ke pasar, maka aku tak akan mau tinggal di rumah, aku akan ikut, aku akan ikut-ikutan ibu saja. Tidak, aku sudah lulus SMA sederajat, aku sudah mempertimbangkan apa yang sedang ku lakukan. Aku sudah mulai untuk menjadi diriku sendiri, melakukan apapun sesuai dengan keadaan diriku sendiri. Tidak lagi ikut-ikutan orang lain.Kalau berpikir dari sudut pandang pak lek, tentu saja aku seharusnya tidak ikut ke Bali. Ngabisin duwit saja, itu intinya. Keikut sertaan pak lek di keluarga kami sejak awal adalah di bagian ekonomi keuangan keluarga. Pantas saja permasalahan keluarga kami, apapun itu, bagaimanapun itu, kapanpun dan dimanapun itu, titik pertama yang terlihat baginya adalah tentang uang. Dari arah pandang keuangan, jelas aku tidak boleh ikut. Kalau ingin ikut, aku harus membayarnya sendiri. Tapi kalau lihatlah dulu permasalahan ini dari arahku, tentu saja aku harus ikut, aku sangat mencintai ibu, dengan ikut ke Bali aku bisa, minimal berusaha mengurangi kerepotannya dan berusaha menjauhkannya dari bahaya. Dan, tentu saja uang masih kalah dengan itu. Lagipula ibu dengan sukarela mau membayar ongkosku, karena aku memang dibutuhkan untuk membawa barang-barang berat itu. Ah, andai saja uangku cukup untuk ongkos, masalahnya aku memang belum menerima gaji bulan ini.Seandainya juga pak lek mau sedikit saja mengintip permasalahan ini dari sudut pandangku. Maka yang terlihat bukanlah hanya masalah uang. Maka tidak akan hanya sampai disitu pertimbangannya. Seharusnya, pada permasalahan apapun, dia membayangkan juga, bagaimana pikiran orang lain terhadap permasalahan itu.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar