Sabtu, 27 November 2010

UNTUK SAHABAT

Ketika dunia terang, alangkah semakin indah jikalau ada sahabat disisi. Kala langit mendung, begitu tenangnya jika ada sahabat menemani. Saat semua terasa sepi, begitu senangnya jika ada sahabat disampingku. Sahabat. Sahabat. Dan sahabat. Ya, itulah kira-kira sedikit tentang diriku yang begitu merindukan kehadiran seorang sahabat. Aku memang seorang yang sangat fanatik pada persahabatan. Namun, sekian lama pengembaraanku mencari sahabat, tak jua ia kutemukan. Sampai sekarang, saat ku telah hampir lulus dari sekolahku. Sekolah berasrama, kupikir itu akan memudahkanku mencari sahabat. Tapi kenyataan dengan harapanku tak sejalan. Beragam orang disini belum juga bisa kujadikan sahabat. Tiga tahun berlalu, yang kudapat hanya kekecewaan dalam menjalin sebuah persahabatan. Memang tak ada yang abadi di dunia ini. Tapi paling tidak, kuharap dalam tiga tahun yang kuhabiskan di sekolahku ini, aku mendapatkan sahabat. Nyatanya, orang yang kuanggap sahabat, justru meninggalkanku kala ku membutuhkannya. “May, nelpon yuk. Wartel buka tuh,” ujar seorang teman yang hampir kuanggap sahabat, Riea pada ‘sahabat’ku yang lain saat kami di perpustakaan. “Yuk, yuk, yuk!” balas Maya, ‘sahabatku’. Tanpa mengajakku Kugaris bawahi, dia tak mengajakku. Langsung pergi dengan tanpa ada basa-basi sedikitpun. Padahal hari-hari kami di asrama sering dihabiskan bersama. Huh, apalagi yang bisa kulakukan. Aku melangkah keluar dari perpustakaan dengan menahan tangis begitu dasyat. Aku begitu lelah menghadapi kesendirianku yang tak kunjung membaik. Aku selalu merasa tak punya teman. “Vy, gue numpang ya, ke kasur lo,” ujarku pada seorang yang lagi-lagi kuanggap sahabat. Silvy membiarkanku berbaring di kasurnya. Aku menutup wajahku dengan bantal. Tangis yang selama ini kutahan akhirnya pecah juga. Tak lagi terbendung. Sesak di dadaku tak lagi tertahan. Mengapa mereka tak juga sadar aku butuh teman. Aku takut merasa sendiri. Sendiri dalam sepi begitu mengerikan. Apa kurangku sehingga orang yang kuanggap sahabat selalu pergi meninggalkanku. Aku tak bisa mengerti semua ini. Begitu banyak pengorbanan yang kulakukan untuk sahabat-sahabatku, tapi lagi-lagi mereka ‘menjauhiku’. “Faiy, lo kenapa sih ? kok nangis tiba-tiba,” tanya Silvy padaku begitu aku menyelesaikan tangisku. “Ngga papa, Vy,” aku mencoba tersenyum. Senyuman yang sungguh lirih jika kumaknai. “Faiy, tau nggak ? tadi gue ketemu loh sama dia,” ujar Silvy malu-malu. Dia pasti ingin bercerita tentang lelaki yang dia sukai. Aku tak begitu berharap banyak padanya untuk menjadi sahabatku. Kurasa semua sama. Tak ada yang setia. Kadang aku merasa hanya dimanfaatkan oleh ‘sahabat-sahabatku’ itu. Kala dibutuhkan, aku didekati. Begitu masalah mereka selesai, aku dicampakkan kembali. “Faiy, kenapa ya, Lara malah jadi jauh sama gue. Padahal gue deket banget sama dia. Dia yamg dulu paling ngerti gue. Sahabat gue,” Silvy curhat padaku tentang Lara yang begitu dekat dengannya, dulu. Sekarang ia lebih sering cerita padaku. Entah mengapa mereka jadi menjauh begitu. “Yah, Vy. Jangan merasa sendirian gitu dong,” balasku tersenyum. Aku menerawang,” Kalau lo sadar, Vy, Allah kan selalu bersama kita. Kita ngga pernah sendirian. Dia selalu menemani kita. Kalau kita masih merasa sendiri juga, berarti jelas kita ngga ingat Dia,” kata-kata itu begitu saja mengalir dari bibirku. Sesaat aku tersadar. Kata-kata itu juga tepat untukku. Oh, Allah, maafkanku selama ini melupakanmu. Padahal Dia selalu bersamaku. Tetapi aku masih sering merasa sendiri. Sedangkan Allah setia bersama kita sepanjang waktu. Bodohnya aku. Aku ngga pernah hidup sendiri. Ada Allah yang selalu menemaniku. Dan seharusnya aku sadar, dua malaikat bahkan selalu di sisiku. Tak pernah absen menjagaku. Kenapa selama ini aku tak menyadarinya? Dia akan selalu mendengarkan ‘curhatanku’. Dijamin aman. Malah mendapat solusi. Silvy tiba-tiba memelukku. “Sorry banget, Faiy. Seharusnya gue sadar. Selama ini tuh lo yang selalu nemenin gue, dengerin curhatan gue, ngga pernah bete sama gue. Dan lo bisa ngingetin gue ke Dia. Lo shabat gue. Kenapa gue baru sadar sekarang, saat kita sebentar lagi berpisah…” Silvy tak kuasa menahan tangisnya. Aku merasakan kehampaan sejenak. Air mataku juga ikut meledak. Akhirnya, setelah aku sadar bahwa aku ngga pernah sendiri dan ingat lagi padaNya, tak perlu aku yang mengatakan ‘ingin menjadi sahabat’ pada seseorang. Bahkan malah orang lain yang membutuhkan kita sebagai sahabatnya. Aku melepaskan pelukan kami. “ Makasih ya, Vy. Ngga papa koki kita pisah. Emang kalau pisah, persahabatan bakal putus. Kalau putus, itu bukan persahabatan,” kataku tersenyum. Menyeka sisa-sisa air mataku. Kami tersenyum bersama. Persahabatan yang indah, semoga persahabatan kami diridoi Allah. Sahabat itu, terkadang tak perlu kita cari. Dia yang akan menghampiri kita dengan sendirinya. Kita hanya perlu berbuat baik pada siapapun. Dan yang terpenting, jangan sampai kita melupakan Allah. Jangan merasa sepi. La takhof, wala tahzan, innallaha ma’ana..Dia tak pernah meninggalkan kita. Maka jangan pula tinggalkannya.

MENUNGGU PELANGI

“Pelangi!! Ayo kesini! Hujannya lumayan deras nihh! Nanti sakit loh!” teriakku sekencang – kencangnya ke arah Pelangi yang dari tadi mengincar air hujan yang berjatuhan. “ Bentar donk! Lagi seru main sama air nih! Lagian kalo disitu nanti kita ga bisa lihat pelangi tau!” balas pelangi dari kejauhan. Aku segera mendatanginya. “ Mana Ngi pelanginya?” tanyaku penasaran dengan kata–katanya barusan. Di situ aku pertama kali melihat pelangi yang indaaahh sekali bersama dengan sahabat setiaku, Pelangi.
Oh iya. Kenalkan namaku Tito. Aku sudah duduk di bangku kuliah. Semester 4. Aku sangat suka dengan dunia balap. Piala dan penghargaan prestasiku di dunia balap juga ga dikit lho. Cuplikan tadi hanya seberkas cerita kecilku bersama sahabatku Pelangi. Dan itu adalah kali pertama kita melihat pelangi bersama – sama dan akhirnya menjadi hobi kita setiap ada hujan.
Hari ini, begitu indah untuk seluruh keluargaku. Ayah baru saja pulang dari Amerika. Kenangan indah masa kecilku bersama ayahku kembali lagi di benakku. Tami dan Hugo juga terlihat senang. Terutama si Tami, adikku yang paling kecil sekaligus paling manja dan cerewet ini seakan tak mau lepas dari pelukan ayahku. Mama juga memasakkan makanan kesukaan semua anggota keluarga hari ini.
Tak lama, rintik – rintik hujan mulai berdatangan. Makin lama makin deras. Ikan – ikan dibelakang rumah membiarkan nuansa hening dan damai dari rintik – rintik hujan menambah volume air di habitat mereka. Tumbuhan – tumbuhan juga membiarkan tetesan air membasahi permukaan daun mereka. Teringat kembali aku akan si Pelangi. Dia masih satu kampus denganku. Ku angkat telepon genggamku yang ada di atas sofa yang sedang kududuki sekarang ini. Aku mencari nomer telepon dari sahabat tercintaku itu. Setelah kutemukan, kutekan tombol berwarna hijau yang ada di antara beberapa tombol lain. Mulailah suara halus dan lembut menjawab panggilanku. Aku mulai berbincang dengan Pelangi dan mengajaknya pergi bersamaku untuk melihat pelangi di angkasa sebelum hujan reda.
“ Hayo kak Tito janjian sama kak Pelangi yaaa......” tiba – tiba suara si Hugo menyadarkanku dari serunya pembicaraan dengan Pelangi. Segera kutarik kulit tangannya setelah aku menutup telponku dengan Pelangi. “ Apaan sih kamu itu! Masih SMP jangan ikut – ikutan! Kakak mau pergi sama kak Pelangi dulu. Ntar bilangin ke ayah sama mama oke?” aku bertutur kepada adik laki – lakiku yang rese’ ini. Seraya dia menjawab, “ Pake pajak dong kak!”. Aku tercengang. Si Hugo nyengar – nyengir ga karuan. Oke deh, aku kasih dia uang jajan.
“ Hai! Udah lama ya? “ sapaku dengan menepuk pundak si Pelangi yang sudah menunggu beberapa menit. “ Eh? Oh, enggak kok. Baru 10 menit.” Jawabnya dengan lembut. “ Oh. Sorry ya udah buat nunggu.“ pintaku dengan penuh harap. “ Nggakpapa To. Santai aja deh.” Jawabnya dengan santai dan tulus. Pelangi langsung menunjuk ke langit yang sedang menurunkan air saat itu. Kami berdua langsung tersenyum bersamaan. Bangku taman yang kami duduki terasa hangat dan nyaman. Huft, seperti dulu lagi. Sangat indah saat ini.
Sungguh romantis situasinya. Sempurna sekali dengan rencanaku yang sudah beberapa tahun kupendam. Aku merentangkan tanganku ke pundak Pelangi. Pelangi yang terkaget segera memandang wajahku. Dengan lirih aku menanyakan hal yang sangat sulit untuk ditanyakan dan dijawab. “Ngi. Ehm.., Pelangi. L, lo, lo mau ga…” aku berusaha bertanya dan mengeluarkan kata – kata. Pelangi menjawab tanyaku yang belum selesai kuucapkan “Mau apa To? Kalo bantuin lo, gue mau kok.”. “ Ituh, bukan. Bukan bantuin gue. Tapi lo mau ga… jadi.. jadi.. pa..” aku ga bisa mengeluarkan kata – kata dengan sempurna. “Huft.. ayo bicara Tito!” aku berbicara pada diriku sendiri dalam hati.
Mobil Avanza berwarna silver menghampiri kita. “ Eh To. Ga terasa kita udah lama lho disini. Tuh kakak gue udah jemput. Ngomongnya besok dikampus ya. Oke friend??” seru Pelangi bergegas menghampiri mobil kakaknya. “ Eh, Ow. Oke deh. Bye..” aku menjawab seruan pelangi dengan kecewa karena aku ga bisa mengungkapkan rasa yang sudah lama ingin aku ungkapkan. Apa lagi, dia memanggilku ‘friend’, apa mudah buat aku nembak dia?? Di kampus, aku memulai pelajaran bersama semua teman – temanku yang menambah ceria hari – hariku. Seperti awalnya, anak – anak GALGOBHIN atau pasnya genknya si Rico, anak terpintar,terbaik, dan tersopan di penjuru kampus sekaligus rivalku untuk mendapatkan Pelangi ini menjawab setiap pertanyaan yang diajukan Pak Fardi yang adalah sang Master dari Matematika.
Istirahat, aku menemui Pelangi duduk bersama Chika dan Tiwi di kantin. Aku meminta izin pada Chika dan Tiwi untuk berbicara sedikit dengan Pelangi. Dan aku diizinkan. Aku menarik tangan Pelangi ke depan pintu kantin. Dag dig dug makin terasa. Makin keras, keras, dan terasa jantung ini akan pecah. Mengapa? Karena aku berhasil dengan lancar menembak Pelangi. Sekarang aku tinggal menunggu jawaban. Kutatap matanya, ia juga menatap mataku. Dan jawaban apa yang kudapat? “Ehm, gimana yah? Oke deh. Tapi kita harus serius dan ga main-main oke?” Jelas saja kubalas “PASTI!!!”. Diriku serasa melayang bebas ke udara. Lalu kutemui bidadari di sana. Aku berdansa dengannya dengan disaksikan oleh keluarga dan sobat-sobatku disana. Siapa lagi bidadarinya kalau bukan Pelangi? Kita jadi sering banget jalan berdua. Dan sering juga melihat pelangi bersama-sama.
Setelah gossip jadiannya aku sama Pelangi tersebar, Rico and friends mendatangi aku. Aduh, dia pasti bakal ngelabrak aku habis – habisan nih. Aku bergegas pergi dari dudukku. Tapi anak buah Rico menarik tas hitamku. Aku jatuh ke lantai dan merasa ketakutan sekali. Apalagi Dido dan Rahman yang bergabung di genk itu adalah juara boxing antar kampus. Keringat dingin bercucur dari dahiku hingga ujung dagu. Perlahan – lahan Rico menjulurkan tangannya. Aku memejamkan mata dengan kuat dan berusaha melindungi kepalaku dengan lenganku. Tapi apa? “ Slamet ya. Ternyata lo yang ngedapetin Pelangi duluan” Itu yang Rico ucapakan. Hah? Bener? Waw. Aku ga nyangka banget ada orang yang baik sampe kaya gitu. Makin seneng deh.
Besoknya, aku berangkat ke kampus kaya biasa. Naik sepeda motor sama boncengin Pelangi. Pelangi juga memberiku gantungan kunci benang berwarna – warni mulai dari merah dan berurut sampai ungu. Ditengahnya terdapat plastik bertuliskan ‘Rainbow’ dan sekarang kugunakan untuk menghias kunci sepeda motorku.
Pulangnya aku dikabarkan dengan kabar yang sangat tidak menggembirakanku. Ayahku masuk rumah sakit! Mengapa? Aku juga ga tau. Intinya, mama meneleponku dan memberitahu kalau ayah masuk rumah sakit. Segera kulajukan dengan cepat Sportbikes menuju rumah sakit.
Aku melihat mama, Tami dan Hugo terduduk lemas di ruang tunggu. Aku segera menghampiri mama. “ Mama! Gimana ayah?!” bermuka pucat mama menjawab, “Ayahmu kumat lagi To. Padahal sudah lama penyakit ayah tidak muncul.” Aku terduduk lesu ke kursi di sebelah adikku Tami. Tami memandangi wajahku dengan raut wajahnya yang pucat dan berusaha menahan tangis. Aku mempersilahkan untuk meletakkan kepalanya di dadaku. Kupeluk erat badan mungilnya. Dengan isak tangis keluargaku benar - benar dipenuhi haru hari ini,
Otakku berjalan lambat ke belakang dan membiarkan kotak di pojok otakku memutar kembali memori kita sekeluarga. Aku teringat beberapa minggu lalu saat ayah baru pulang dari Amerika. Keluargaku benar – benar senang dan bahagia. Hingga kutemui Pelangi dan kutembak dia. Saat ayah memberikan oleh – olehnya pada kami. Dan saat Hugo menggangguku ketika bertelepon dengan Pelangi. Oh betapa berbeda sekali dengan hari ini.
“Tito!!” panggil mama dan menyadarkan lamunanku akan memori beberapa minggu lalu. Mama memberi kertas berisi biaya yang harus dibayar untuk perawatan ayah. “ Segini banyak, Ma?” aku bertanya heran pada mama. Mama menganggukkan kepalanya pertanda kata – kata “ IYA”
Gimana cara mendapatkan uang sebanyak ini? Aduh… Pikiranku lebih kacau dan makin stress ketika Pelangi berkata ia akan pergi ke Australia. Ya ampun! Apa ada lagi cobaan yang akan menerkamku setelah ini? Ah! Terpaksa aku harus merelakan kepergian Pelangi ke Australia. Tapi kali ini lebih haru lagi yang kurasakan. Hatiku seakan dicabik – cabik. Aku berharap Pelangi bisa mengingatku di sana. Kuharap Pelangi juga akan menepati dan tidak mengingkari belasan janjinya padaku. Baiklah, aku masih punya gantungan kunci dari Pelangi. Aku harus memikirkan caraku mendapatkan uang untuk perawatan ayah. Tapi dimana?
Oh iya! Ada Paman Heru! Paman yang paling berjasa di dunia balapku. Aku pergi ke rumah Paman Heru saat itu juga. Aku lihat Paman Heru sedang bersantai di depan rumahnya sambil minum kopi. Aku menyapanya dan mulai berbincang beberapa lama. “Kamu butuh uang berapa To?” Paman Heru bertanya sambil bersiap mengambil dompet kulit dari saku celananya. “Segini Paman” aku memberikan kertas yang diberikan mama saat di rumah sakit. “ Wah. Banyak nih To. Oke paman mau kasih. Tapi Cuma bisa seperempatnya aja. Sisanya cari sendiri oke?” sahut paman. “Oke deh paman.” Balasku sedikit kecewa. Paman Heru mengeluarkan hampir seluruh isi dompetnya. Ku raih uang itu. Aku mengucapkan terimakasih.
“ Ehm, paman. Cari sisanya dimana yah? Maaf ya paman kalo ngrepotin..” “ Aduh dimana ya? Paman Heru udah jarang banget ketemu event – event balap.” Jawab Paman Heru. “ Bener nih Paman? Ngga ada sama sekali?” tanyaku sekali lagi untuk meyakinkan. “ Ada sih satu. Paman kemarin ketemu satu event. Hadiahnya lumayan gede juga” jawab paman sekali lagi. “Ya udah aku ikut.” Jawabku tanpa pikir panjang. “Tapi yang ngadain Komunitas Bali.” Ujar Paman. “Hah? Bali? Balap Liar paman?” tanyaku dengan heran. “Iya. Kamu tau kan konsekuensinya?” “Emmmm, oke deh gapapa. Pokoknya ayah sembuh.”
Setelah kubicarakan hal ini dengan mama, Tami dan Hugo, tak ada yang menyetujui kesepakatanku kecuali Hugo. Hanya dia yang menyemangatiku saat itu. “ Udah To. Kalo ada barang yang bisa dijual, biar mama jual daripada kamu ikut balapan kaya gitu.” Mama melarangku. “ Iya kak. Biar nanti Tami jual gorengan atau apa gitu buat bayar biayanya ayah. Daripada kakak nanti kenapa – napa.” Tami yang masih di bangku SD itu juga berusaha melarang. Tapi keputusanku udah bulat. Aku akan tetap mengikuti balap ini.
Hari yang kutunggu akhirnya tiba. Sudah siap aku di atas motor balapku ini. Tak lupa ada gantungan kunci dari Pelangi yang menemaniku. Para cewek – cewek di depanku menarik bendera hitam putih di tangan mereka. Segera melaju kami semua. Urutan pertama ada rivalku si Joe. Tapi aku berusaha menyalipnya. Beberapa lap sudah kulewati. Tinggal satu lap lagi. Aku masih di urutan dua. Joe mengencangkan lagi gasnya. Aku juga tak mau kalah. Aku tancap gasku. Kini jarakku dengan Joe hanya beberapa cm! Kutancap lagi gasku! Garis finish sudah ada di depanku. Mataku mulai jeli memainkan trik. Kutancap gas hingga aku berada di depan Joe. Kuhalangi laju motor Joe dengan zig zag. Tinggal sedikit lagi.. Ya, ya, ya.. YESSS!!! Aku berhasil mencapai urutan pertama di garis finish. Paman Heru berteriak menyemangatiku dari jauh. Para penonton menyoraki dan memberi tepuk tangan untukku. Sangat haru sekali. Sangat memuaskan. Tapi, polisi! Polisi! Polisi! Penonton berlarian kesana kemari. Para pembalap lain melaju kencang tak berarah. Paman Heru berteriak padaku “Tito!!!! Ayo pergi!!!! Paman ga mau kamu ditangkap polisi!!!” “Lhoh kenapa paman???!!!!! Aku kan belum dapat hadiahnya!!!!” teriakku membalas paman Heru. “Tito ini Balap Liar!!!!! Kamu lupa ya????!!!!!!”
Jregg. Oh iya!! Aku baru teringat. Kutancap gasku. Aku melaju tanpa arah. Tak kusangka segerombolan cewek centil berlari dengan histeris di depanku. Aku rem motorku dengan sangat mendadak dan dengan kecepatan yang melebihi normalnya. Keseimbanganku goyah. Aku terjatuh dari motorku!
Kaki kiriku tertindih body motorku. Sebelum kubebaskan kaki kiriku, kuraih dulu gantungan kunci dari Pelangi. Sedikit lagi…, yah! Aku berhasil membebaskan kakiku! Gantungan kunci dari Pelangi juga sudah kukantongi.
Belum aku berdiri dari jatuhku, seorang pembalap dengan motor besarnya segera melindas kedua kakiku dengan kecepatan tinggi. Sakit sekali! Aku mengerang kesakitan. Benar – benar sakit. Lebih sakit daripada hatiku yang tercabik saat Pelangi pergi. Paman Heru datang menghampiriku. Belum sempat aku mendengar Paman Heru berbicara, pandangankupun gelap. Apa ini? Aku sudah mati? Oh aku sudah mati ya. Ternyata aku sudah mati. Perlahan – lahan aku membuka mataku. Rasanya sudah lama sekali aku tidur. Tapi ada mama di depanku. Tami dan Hugo juga ada. Baunya sama persis ketika aku melihat ayah yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Oh? Aku sedang ada di rumah sakit?
Aku bangun dari tidurku. Kulihat anggota badanku. Ada yang hilang!! Kakiku!! Mana?? Dimana kedua kakiku? Tertanya peristiwa itu membuat aku kehilangan kedua kakiku. Harusnya aku menuruti nasehat mama dan Tami. Pasti tidak akan seperti ini jadinya. Ah! Tapi nasi telah menjadi bubur. Apa daya??
“Kak, waktu kakak koma, kak Pelangi dating kesini lho.” Kata Tami saat aku berbaring di ranjang tidur. “ Oh ya? Terus terus? Kak Pelangi bilang apa aja?” tanyaku penasaran dan langsung bangkit dari tidurku. “Enggak bilang apa – apa. Cuma kesini pegang tangan kak Tito terus pulang.” Jelas Tami. “Cuma gitu? Dia ga nitip apa – apa?” aku heran. “ Emm, enggak kok.” Jawab Tami ragu. “oh. Ya udah deh”.
Siang itu hujan turun. Aku sangat ingat pada Pelangi. Soalnya dia pernah buat janji tiap ada hujan turun dia akan balik buat liat pelangi sama – sama. Dengan bantuan dorongan Hugo, aku menelusuri lorong rumah sakit hingga ke lobby dengan kursi roda. Kutunggu terus hingga Hugo tertidur di atas sofa. Tapi hingga larut ia tak juga datang.
Namun aku sangat menyesal menunggunya sejak aku melihat surat yang terletak di atas meja. Andai saja waktu Tami bercerita padaku, aku tau kalau di tangannya ada surat dari Pelangi. Surat itu berisi : “Buat Tito sahabat gue sekaligus pacar gue yang paling gue sayang. To, gue minta maaf. Gue ga bisa balik lagi buat liat pelangi sama – sama lagi kaya dulu. Soalnya di sini gue udah ketemu ama cowok yang gue pikir bisa dampingin hidup gue. Tolong titip gantungan kuncinya ya. Rawat yang baik oke?” Itupun belum semua. Yang paling membuat aku menyesal menunggunya semalaman adalah kalimat terakhir dari suratnya. Yaitu: “Gue ga bisa hidup sama orang cacat kaya lo”
Kini kusadari, pelangi hanya terbentuk dari pembiasan yang tidak nyata. Namun bisa membuat satu cahaya putih menjadi bermacam – macam warna. Tetapi pelangi hanya sementara dan bila tak ada air dan cahaya pelangi hanya akan mengingkari janjinya untuk menyinari dunia.
Sama seperti si Pelangi. Pelangi memiliki ciri – ciri yang kuimpikan namun tidak nyata di hatinya. Ia bisa membuat hidupku berwarna dan ceria. Tapi hiburan itu hanya sementara untukku dan bila tidak ada diriku yang utuh seperti dulu, ia mengingkari janjinya dan berpaling

MIMPI BURUK

Waw..!! pagi ini cerah banget tapi langitnya gelap..keren euy, udah ah bosen,aku menutup jendela yang dari tadi gk bisa kebuka-buka,hohoho..dengan semangat ’45 yang membara aku berniat buat membereskan kasur,pas udah selesai,aku ngeliat di bawah kasur ada kertas yg lusuh,gak keurus,kusam,kotor dan sebagainya…penasaran,aku deketin pelan2 dan semoga usahaku ini bs berjalan dengan lancar dan gak ada acara ditolak*engga deng*,aku ambil kertas itu..pas aku buka..jreng..jreng..dengan gagah tulisan itu terpampang di atas bagian keras itu “TUGAS LIBURAN”..”Hah.?oow..mati aku,,alaah kenapa kau baru muncul sekarang?lantas apa yang terjadi nanti?”*lho?.. *aku melongo menunggu lalat masuk ke mulut(jiah..) au ah pusing..udah hepi-hepi pas liburan,tau-taunya ada yang ketinggalan…biarin lah,liburan masih satu minggu lagi ini..aku udah mulai tenang,karena sekarang aku dan teman2 mau jalan-jalan ke mall,tanpa diundang nongol di hp ku suara cody simpson yang menandakan datangnya sms di hapeku “lola,kita semua udah di dpn gang rumah lu,cepetan ya..!”jeeh,kawan-kawanku memang baek,abis itu aku bales deh”iya loli..sabar!, kan KATANYA lu anak yg sabar*preet” sip lah..aku turun dari kamar ku yg ada di lantai hdmhci(bacanya 2),,kita pergi dengan tenang dan pulang dengaaan…ketakutan,pasti nyampe rumah bakalan di marahin karena pulangnya kemaleman..gak papa lah..yang penting hepii.6 hari kemudian..wadow..sialan,lali aku,padahal tugas-tugas kan belum pada di kerjain,tinggal 1 hari lagi..aku langsung bangun dari kasurku yang (gak) rapih.langsung cari di internet..untung aja langsung dapet,di print sekarang aja deh..dan resenya.printernya rusak..mau gak mau ya harus ke warnet deket rumah deh.pas nyampe di sana,rame bgt..untung udah ce-esan sm abangnya,asekasek..aku dapet computer punya abangnya deh..aku langsung lari ke rumah ngerjain tugas yang lain..capek banget kalo udah begini.kaga mau kayak gini lagi lah..capek hati,walupun udah selesai tapi kan ini gak semaksimal yang mungkin temen-temen udah buat..besoknya,pas guru meriksa tugas-tugas..aku dimarahin abis-abisan,karena semua materi yg aku kerjain itu keliru alias salah deh..melas banget sih saya..*menatapi nasib*tapi aku bingung banget..perasaan baru aja ngos-ngosan dimarahin dan dihukum,kok sekarang seger bgt,backsoundnya enak lagi,,”HEH,BANGUN KEBO,KERJAANNYA TIDUR MULU LU..”kata kaka’ku sambil dngerin lagu ne-yo and nyiram aku dengan air sirop. ”cih..jadi dari tadi cuma mimpi.?beuh..udah deg-degan setengah mati..”(batinku dalam hati)untuung aja semua hanya mimpi..makanya kalo mimpi yang enak-enak kayak gue dong.!!”dih..gaje bgt kaka’ aku.. Ya udah lah kaga papa,lain kali harusnya aku berdoa dulu sebelum molor,ada hubungannya kali ya…

DILARANG JATUH CINTA

Cerpen Maroeli Simbolon, Dimuat di Republika 12/19/2004Wah! Semua mata terbelalak -- berpusat kepada laki-laki yang berdiri persis di atas atap gedung berlantai 33, siap untuk bunuh diri. Sejumlah polisi sibuk mengamankan lokasi yang dipenuhi orang-orang yang ingin menyaksikan peristiwa tragis itu secara langsung, dengan berbagai ekspresi yang tak kalah seru. Ada yang bergidik, ada yang terbelalak histeris, ada juga yang terkagum-kagum. Situasi heboh itu melumpuhkan lalulintas. Beberapa polisi sibuk berdebat dan stres -- mencari solusi bagaimana mencegah orang sableng itu agar tidak mewujudkan kegilaannya. Ada juga polisi yang langsung menghubungi pihak rumah sakit untuk segera mengirimkan ambulans. Mengapa ada yang ingin bunuh diri?Silakan tanya kepada para penduduk di sebuah negeri yang sedang dilanda cinta, atau kepada seorang laki-laki muda yang tampan, yang kini berdiri gagah dan tenang di bibir gedung pencakar langit, dan siap terjun bebas. Padahal, embun masih terjun ke bawah ketika polisi yang memanjat baru mencapai setengah gedung. Orang-orang pun berteriak histeris. Dan, lihatlah, seperti tubuh yang bunuh diri pertama, wanita itu juga melayang-layang ke bawah. Dari tubuhnya, satu per satu tumbuh bunga-bunga yang mekar. Dan, begitu tiba di tanah, tubuhnya telah menjelma sebatang pohon bunga beraneka rupa. Di pucuk bunga terselip kertas yang bertulis, ''Kubuktikan cinta dengan kepasrahan!'' Belum habis keterkejutan orang-orang, kembali terdengar teriakan seseorang, ''Lihat! Di atas gedung bertingkar 52 sana juga ada yang hendak bunuh diri!''Semua terperangah, berteriak ngeri. ''Kegilaan apa lagi ini?!''''Lihat! Di gedung 67 tingkat itu juga!''''Lihat! Di gedung warna kelabu ungu bertingkat 73 itu juga!''''Lihat! Di atas menara pahlawan itu juga!'' Semua menggigil seputih kapas di ujung ilalang. Bahkan angin pun beringsut ketakutan. Sebab, hari itu lebih sepuluh orang melakukan bunuh diri dengan cara yang sama (melompat dari atas gedung bertingkat) dan motif yang sama atau hampir sama. Mungkinkah cinta yang menciptakan semua tragedi yang mencemaskan ini? Peristiwa itu mencengangkan semua orang, sekaligus menimbulkan rasa takut dan khawatir yang hebat. Dan peristiwa ini menjadi topik utama di mana-mana, dari kedai kopi, kafe hingga hotel berbintang, terutama menjadi headline koran-koran terkemuka. Berbagai kalangan pengamat memberi komentar dan tanggapan, dari psikolog hingga pengamat sepakbola. Ternyata, hari demi hari, peristiwa bunuh diri itu tiada henti, terus-menerus terjadi. Sehingga, semakin panjang daftar orang yang mati bunuh diri dengan melompat dari atas gedung. Bahkan menjadi ancaman, melebihi wabah penyakit menular. Bunuh diri itu sudah melanda semua orang, dari jompo hingga anak-anak, dengan teknik yang semakin aneh. Sableng bin edan! Ada yang berpakaian Pangeran, Ratu, Pendekar, Batman, Superman. Ada yang bersalto, jumpalitan di udara, berselancar. Ada pula yang terjun sambil baca puisi. Penduduk negeri itu semakin dicekam rasa takut dan waswas yang luar biasa. Semua mengkhawatirkan sanak keluarganya dan dirinya akan ikut bunuh diri suatu waktu. Sebab, penyakit bunuh diri itu dengan cepat menyebar dan menjangkiti siapa saja. ''Bila tidak segera dihentikan, anak-anak kita, saudara kita, bahkan kita sendiri akan terpengaruh, dan melakukan tindakan bunuh diri itu.''''Ya. Ini harus kita hentikan!''''Bagaimana caranya? Adakah cara jitu yang kamu pikirkan?'' ''Ah. Ayo, kalangan intelektual, berpikir dan bertindaklah segera. Jangan cuma ngoceh ke sana ke mari!'' teriak orang-orang, kehilangan arah.Penduduk semakin panik, saling bertanya satu sama lain. Tetapi, semua menggeleng. Semua angkat bahu. Semua jadi buntu jadi batu. Apa lagi yang dapat dilakukan? Maka, tanpa dikomando, semua tekun berdoa dan samadi agar wabah penyakit bunuh diri itu segera berakhir. Sayangnya, ketika doa-doa meluncur di udara, burung-burung gagak berebutan menyerbu dan mencabik-cabiknya sehingga tidak pernah sampai di meja kerja Tuhan. Jika pun ada yang sampai, cuma berupa sisa atau percah. Tentu Tuhan tidak sudi mendengarnya. Apalagi Tuhan semakin sibuk menata surga -- sambil mendengarkan musik klasik -- karena kiamat sudah dekat. Disengat kepasrahan yang mencekam itu, tiba-tiba Maharaja menemukan gagasan, ''Kita bikin pengumuman!'' teriaknya pasti.Seketika semua melongong. ''Pengumuman? Untuk apa?''''Di setiap tempat, kita buat pengumuman: Dilarang Jatuh Cinta!''Semua kurang menanggapi. ''Apakah mungkin efektif untuk mengatasi maut yang mengancam di depan mata kita?'' Maharaja angkat bahu. ''Coba dulu, baru tahu hasilnya,'' jawab Maharaja. ''Masalah utamanya sudah jelas, akibat cinta. Setiap orang yang terjerat cinta, entah mengapa jadi ingin bunuh diri. Satu-satunya cara, ya, kita larang orang-orang jatuh cinta. Siapa pun tak boleh jatuh cinta agar hidup terjamin.'' ''Wah, mana mungkin. Jatuh cinta itu manusiawi. Beradab dan berbudaya. Berasal dari hati. Kata hati. Muncul begitu saja -- tanpa diundang. Apalagi, cinta kan pemberian Tuhan,'' protes orang-orang, tak dapat menerima pendapat Maharaja yang dinilai ngawur. ''Terserah. Jika ingin selamat, menjauhlah dari cinta. Kalian jangan pernah jatuh cinta. Mengerti?! Tetapi jika sudah bosan hidup, ya, silakan jatuh cinta!'' tegas Maharaja. ''Sekarang, mari kita pasang pengumuman itu sebanyak-banyaknya dan sebesar-besarnya!'' Meski dijerat tali ketidakmengertian yang luar biasa, pengumuman akhirnya dibuat juga. Dipancangkan dan ditempelkan di mana-mana, termasuk di bandara. Maharaja bahkan melakukan siaran langsung di seluruh televisi: ''Saudara-saudari sekalian yang saya benci. Sebab, mulai sekarang, saya tak ingin mencintai, agar berumur panjang. Saya harus benar-benar dipenuhi kebencian. Seperti kita saksikan bersama-sama, cinta telah menyebabkan banyak orang bunuh diri. Cinta telah membutakan mata. Cinta telah merenggut nyawa sanak keluarga kita. Cinta mengancam kita. Maka, dengan ini, kepada semua yang mendengarkan pengumuman ini, saya tegaskan: dilarang jatuh cinta! Kita harus melawan cinta. Kita tegas-tegas menolak cinta. Cinta tidak memberi apa-apa yang berharga bagi kita, cuma kematian. Mengerikan, bukan? Mulai sekarang, kita proklamirkan semboyan baru kita: hidup sehat tanpa cinta. Hiduplah dengan saling membenci, bercuriga, menghasut, dan sebagainya. Jangan pernah mencintai!'' Aneh. Penduduk bertepuk sorak menyambut pengumuman itu. Bahkan, untuk selanjutnya, banyak yang memuji kebijaksanaan Maharaja sebagai sikap brilian. Mereka merasa telah menemukan solusi jitu memberantas wabah penyakit bunuh diri itu. Hidup tanpa cinta, tidak terlalu buruk demi hari depan yang lebih baik. Dengan saling membenci, esok yang lebih cerah dan terjamin siapa tahu segera tercapai. Hari masih terlalu subuh. Ayam dan burung-burung masih ngorok. Tetapi keributan orang-orang dan kesibukan polisi telah merobek cadar ketenangan. Apalagi wartawan-wartawan sibuk meliput dan melaporkan -- blizt dan lampu kamera televisi berpantulan. Apa yang sedang terjadi. Wah. Sungguh mengejutkan dan mencengangkan! Betapa tidak, di depan gedung istana Maharaja berlantai 113 yang mencuat menusuk langit kelam, Maharaja dengan masih memakai piyama sedang berdiri di atasnya bersiap-siap bunuh diri. Orang-orang menahan napas dan terbelalak ngeri menyaksikan tragedi ini. Sementara, istrinya, Maharani menyorot api kebencian, ''Biarkan ia menikmati kesempurnaan cintanya!'' Maharaja mengembangkan tangan. ''Ah. Ternyata cinta itu indah. Kita tak dapat hidup tanpa cinta. Cinta itu anugerah. Berdosalah orang-orang yang tak memiliki cinta!'' teriak Maharaja, lalu melompat ke bawah. Tubuhnya melayang dan ditumbuhi bunga-bunga mekar. Tiba-tiba menyusul sesosok tubuh wanita muda yang sintal, melompat sembari bersenandung lagu cinta. Tubuhnya juga melayang, seperti menari -- dan ditumbuhi bunga-bunga mekar. Begitu tiba di tanah, bunga-bunga itu pelahan merambat dan menyatu, lalu membesar dan menjadi belukar yang menjalari dinding-dinding istana dan rumah tangga-rumah tangga. Semua melotot heran. ''Mengapa Maharaja bisa segila itu?''''Selingkuh. Ia selingkuh dengan sekretarisnya!'' cibir Maharani sambil meludah ke tengah belukar itu. Akibat ludah itu, tiba-tiba belukar itu bergerak-gerak liar sepenuh nafsu kelabu, membelit kedua kaki Maharani, dan menariknya, ''Cintakah?!'' Jakarta, 2003/2004

SURAT DIGITAL

Karena kebanyakan dari surat berawalan tanggal, bulan, tahun dan jam penulisan surat, aku mengawali suratku dengan hal yang sama juga. Bukan karena ingin meniru, tapi karena alas an aku memang orang biasa seperti orang kebanyakan. J Jadi awalan suratku aku buat seperti orang lain buat. Tapi jangan berpikir nanti isinya akan berbeda dan lebih dari surat kebanyakan lain nya. Kemungkinan besar nanti isinya sama juga dengan surat pada umumnya.

Di luar kantorku masih gelap saat ini, walaupun waktu sudah membuat orang menyapa orang lain dengan ucapan “selamat pagi”. Tapi sisa dari warna malam itu belum pernah menggangguku, juga saat ini. Terlebih lagi kebanyakan pekerjaanku selesai dengan ditemani kegelapan malam di luar ruangan sana. Dan selalunya sisa malam di pangkal pagi, bisa menyejukkan kembali kepala yang panas dari lonjakan lonjakan rangsangan pada otak ku yang terjadi saat aku memikirkan solusi troubleshooting, error demi error atau hanya saat aku menyusun kembali beberapa item pekerjaan yang tak rapi. Belum lagi jika aku buka jendela ruanganku, dan membiarkan angin dingin bersama aroma embun yang turun masuk ke dalam ruangan, sampai ke keyboard, mouse, dan monitor yang kupakai dalam banyak aktifitasku sehari hari. Semua terasa sempurna untuk mengakhiri hari dengan kepuasan karena telah menyelesaikan pekerjaan. :-)
Aku sertakan “emote smile” tuh. Karena kalimat terakhir tadi buat aku tersenyum, dan mungkin orang lain juga, walaupun mungkin senyum sinis. Bagaimana aku bisa berkata mengakhiri hari saat orang orang akan mengawali harinya dari bangun tidur? :-)

Fiiuhhh.. Prolognya kepanjangan yak..? :-) Kalau gitu anggap aja itu bukan prolog tapi isi. Wqeqeqeqe.. Toh nanti jika aku selesai menulis, mungkin saja suratku yang sampai ke kamu ini nanti tanpa ada sesuatu yang bisa dianggap isi sama sekali.
Agh.. surat..!! Betul.. Kata itulah yang jadi alasan kenapa aku menulis saat ini, dan mungkin nanti aku kirimkan ke kamu.

Surat. Tiba tiba saja saat aku berkemas dengan berapa barang barang di meja kerjaku, aku teringat tentang sesuatu, yaitu surat. :-) Kamu termasuk salah satu teman chat ku di internet dari dimensi benua yang berbeda dari tempatku. Dan dari beberapa pekerjaanku kamu memiliki peran dalam menyelesaikan hal hal dalam pekerjaanku. Saat saat dimana kamu menjadi salah satu dari beberapa orang yang menemaniku dengan guyonan guyonan ringan dan pembicaraan pembicaraan kecil yang berbeda warnanya dari warna dominant yang muncul di layar pemikiranku saat aku menyelesaikan apa apa yang mesti kukerjakan di depan komputer. Kamu menjadi salah satu dari teman tempat bercerita tentang kelelahan, nikmatnya cappuccino, jengkelnya nunggu pesenan makanan yang gak datang datang walaupun dah lapar, atau malah terkadang tentang perasaan perasaan kecil yang kurasakan saat itu.

Dulu, saat aku masih menjadi seorang yang tiap pagi mesti berganti penampilan dengan warna dominant biru dan kemudian abu abu, jika aku ingin berkomunikasi dan berinteraksi dengan beberapa orang yang jaraknya dengan aku terpisah dengan nominal pengukuran kilometer aku menuliskan setiap kalimatku dalam lembaran kertas bergaris dan memasukkannya ke dalam lipatan rapi kertas putih bersegel perangko yang setiap sisi bujurnya dominant dengan warna putih, merah, dan biru.
Aku berkirim surat..!!

Dan inilah yang kulakukan saat ini. Aku mengirim kepadamu kalimat kalimatku, walaupun tidak dalam lembaran lembaran kertas bergaris seperti dulu, walaupun tidak bersegel perangko, walaupun tidak dalam lipatan rapi kertas berbujur empat, tapi saat ini aku berkirim surat. Kepadamu.. :-) Tanpa memandang rendah esensial fungsi dari beberapa aplikasi percakapan yang sering kita gunakan untuk saling bercerita, aku menyusun paragraph, merangkai kata, mengeja huruf, di sini. Bukan di beberapa fasilitas internet yang di sebut program instant messenger, atau aplikasi chat. Salah satu alasannya adalah, aku ingin menambahkan beberapa warna di percakapan kita. Walaupun aku menyukai warna biru dan hitam yang kuat, tapi aku juga suka dengan warna warni cerah dalam setiap hari hariku. Dan aku yakin kamu juga begitu. Walaupun lebih menyukai satu jenis definisi warna, kamu pasti juga suka melihat perpaduan warna warna indah yang lain. Eh, tapi jangan berharap terlalu tinggi, bahwa kalimat kalimat yang kususun disini akan menambahkan keindahan warna dari percakapan kita. :-) Aku hanya menambahkan warna saja, bukan berusaha memperindahnya.

Hmm.. Ternyata isi suratku tentang warna yak.? Padahal tadi aku bermaksud menulis tentang surat. Bahwa aku menulis surat digital kepadamu, dan bukan surat konvensional seperti dulu. Aku menulis untuk menutup aktifitasku dari rumitnya pekerjaan pekerjaan online sambilan dan monitoring jaringan yang menjadi kapasitas tanggung jawabku. Dan jika setiap percakapan yang pernah kita lakukan kadangkala menjadi intermezzo dan sesuatu yang menyegarkan dalam celah celah kegiatanku, mungkin surat ini bisa juga menjadi semacam tempat melepaskan penat dari rutinitas melelahkanku. :-)
Selamat ….
Hmmm.. Aku tidak bisa menulis selamat pagi, selamat siang, selamat sore, ataupun selamat malam, karena aku tak tahu waktu saat kamu membaca tulisanku ini. Dan aku juga tidak akan menambahkan “maaf, karena telah mengganggumu..” seperti kebanyakan surat surat lain. Karena jika aku berpikir ini akan mengganggumu, aku tidak akan mengirimkan nya.
Ok degh.. See you.. :-h

SUDUT PANDANG

“Ud, migu bsk pulng ap g?, ibu, mbh ptri ma mbk mo k bali, k rmh bude kurti. Anaknya disunat d sna, km kut ap g?”. Itulah, sms yang hari ini membuat aku harus meninggalkan pekerjaanku yang sangat ku cintai. Ah, taka apa lah, tak bisa ku bayangkan jika ibu, mbak, dan embah putri, perempuan-perempuan itu, pergi ke bali dengan beban beberapa tas berisi pakaian masing-masing dan pakaian anak-anak, beberapa kardus berisi bekal makanan dan minuman di perjalanan dan oleh-oleh untuk kerabat di bali, lalu beberapa anak kecil yang selalu tidak mau diam, lari kesana-kemari, minta dibelikan apapun yang dijajakan para penjual, menangis berebut mainan yang baru saja dibelikan dan segala macam tingkah polah yang pastinya akan mampu membuat darah mengepul ke ubun-ubun kepala. Bayangku, betapa repotnya kalau tak ada laki-laki di sana, betapa repotnya kalau tidak ada aku yang turut hadir menjadi kuli gratis mereka. Betapa aku tak tega melihat perempuan-perempuan yang ku sayangi itu terkulai-kulai menenteng kardus-kardus dan tas-tas besar sambil berusaha marah-marah terus demi menertibkan anak-anak kecil. Perempuan-perempuanku itu, dengan kardus-kardus dan tas-tasnya harus tergopoh-gopoh mengejar bus yang tidak akan mau menunggu lama karena harus berangkat cepat-cepat. Perempaun-perempuan yang ku sayangi itu harus mengipasi anak-anak yang terus merengek karena sesak dan pengap ruang bus yang seperti oven, terus saja memanggang penumpang.Sesampainya di pelabuhan Ketapang, setelah mereka dan bus yang mereka tumpangi naik ke kapal laut. Akan ada beberapa kesulitan lagi yang harus dihadapi. Embah putri mabuk laut yang pastinya akan muntah-muntah tak karuan. Ibu yang akan mengurus embah putri dengan baik. Tapi, apa yang bisa dilakukan mbak yang sendirian dengan bayi lima bulan di gendongannya dan harus mengurus dua anak laki-laki kecil lainnya, adikku yang juga adiknya dan anaknya yang juga keponakanku. Pasti mbak nangis di tengah selat Bali karena ulah nakal anak-anak kecil bandel itu. Apa aku bisa tega membiarkan mereka berangkat tanpaku setelah membayangkan sedemikian sulitnya. Belum lagi para copet dan jambret yang pastinya tak akan pandang bulu, tak akan mau tahu kalau wanita-wanita itu sendirian dan sudah kesusahan dari tadi. Tak akan penjahat-penjahat itu mempertimbangkan bahwa sebagian dari mereka itu janda dan tidak memiliki uang yang cukup untuk dijambret. Tak akan mau berpikir para kriminal itu bahwa wanita seharusnya dilindungi dan bukan untuk dijajah dan dijadikan objek sasaran kekerasan. Tak akan mereka berpikir sepanjang itu, pikiran mereka sependek dan sedangkal duit koin. Makanya aku suka dengan orang yang suka mikir, karena memang harga penggunaan otak saat ini sudah begitu mahal, karena stok pasar menipis.Setelah sampai di pelabuhan Gilimanuk Bali, bus pengap akan berjalan lagi ke arah selatan, Denpasar. Bus berhenti di terminal dan perempuan-perempuan itu harus terseok-seok lagi menyeret-nyeret tas-tas dan kardus-kardus itu untuk mencari jasa transportasi umum dalam kota. Pasti terminal itu begitu asing bagi mereka, pasti mereka pikir sangat berbeda dengan ketika mereka berangkat di terminal sepi lengang kota kami. Betapa ramainya terminal ini, dan betapa bingungnya mereka saat itu. Perjalanan mereka yang tanpaku itu, betapa membuat mereka terlihat begitu mengenaskan. Maka, ketika ibu bersedia membayari biaya transportasiku, aku memutuskan untuk ikut saja menemani mereka. Mungkin aku tak akan kuat mengejar jambret yang kabur begitu cepatnya, mungkin aku tak akan begitu berguna dalam hal mengasuh anak, dan mungkin, juga tidak terlalu tangguh untuk bisa mengangkut semua barang sekaligus. Tapi, tetap saja, Harus ada laki-laki di antara mereka.Maka, hari ini dan tiga hari mendatang aku harus tidak bekerja, menemani mereka Goes To Bali.Ini di kawasan terminal kota kami. Dari para peserta keberangkatan kami, tinggal embah putri yang belum hadir. Beliau tinggal dengan pak lek di desa lain. Maka embah putri akan menemui rombongan kami di terminal ini, dengan diantar pak lek tentunya. Seperti yang sudah ku bayangkan, di punggungku tercantol ransel besar berisi berbagai pakaian, di samping kaki kananku tergeletak kardus besar penuh telur dan buah mangga sebagai oleh-oleh, sedangkan di sisi kaki kiriku juga tergeletak kardus besar berisi berbagai macam kue olahan sendiri yang bobotnya tak bisa dianggap remeh. Kesemuanya itu, tanggung jawabku, aku yang harus menentengnya kemanapun kami berjalan. Kalaupun ada yang hilang, berarti mereka harus menyalakiku, menyalahkanku, mendampratku. Tidak boleh selain aku.Bagian mbak adalah mengendalikan anak-anak dengan dibantu ibu. Sedangkan embah putri yang sebentar lagi akan datang harus membawa tas pakaiannya sendiri, mungkin hanya berisi dua pasang pakaian. Cukup enteng ku kira, tak perlu bantuanku untuk membawakannya.Sedangkan anak-anak kecil sudah mulai berlarian kesana-kemari, memaksa embak marah-marah yang membuat suasana menjadi lebih panas dari suhu yang seharusnya. Belum memulai perjalanan saja anak-anak itu sudah minta dibelikan bebagai makanan ringan, susu botol, soft drink, buah-buahan dan berbagai macam barang dagangan di kawasan terminal itu. Si bayi lima bulan yang dalam gendongan pun mulai menangis karena tak betah denga udara panas, dan suara bising dari berbagai pihak, termasuk bising yang keluar dari mulut ibunya sendiri. Keadaan mulai berantakan, kacau tak terkendali.Dan keadaan tambah kacau dengan satu kalimat pertanyaan yang keluar dari mulut pak lek, yang lurus tertuju padaku. “kamu kok ikut, apa punya uang?”. Tang..!!, langsung menepis habis kepalaku.Sebelumnya, mari saya ceritakan tentang pak lek ini. Bukan dari sifat-sifat baik dan buruknya, tetapi akan saya ceritakan tentang konektivitasnya dengan keluarga kami selain sebagai pak lek. Semenjak bapak meninggal dunia tanpa mewarisi apapun kecuali hutang, pak lek ini lah yang membantu menegakkan ekonomi keluarga kami sedikit demi sedikit hingga ibu bisa bangkit dengan kaki-kakinya sendiri dan tidak membutuhkan siapapun lagi untuk menghidupi dirinya sendiri dan adikku yang masih SD, hingga aku berhasil lulus MAN dan sekarang bisa bekerja untuk makan sendiri. Sekarang, keluargaku, keluarga ibuku mampu mandiri, mampu mengurusi semua hal sendirian. Tapi, bagaimanapun juga, masih tetap harus ada pria dewasa yang bertugas turut mengawasi semuanya. Itulah tugas pak lek sekarang. Pengawas.Dan ku kira, pertanyaannya barusan adalah hasil dari suatu proses evaluasi yang dia lakukan dalam hal perjalanan ke Bali kali ini. Khususnya pada ke-ikut-sertaanku yang tanpa biaya sendiri ini. Aku sudah lulus SMA sederajat, itu artinya aku tidak boleh lagi membebani ibuku dengan meminta uang terlalu banyak. Dan tentu saja pergi ke bali membutuhkan uang yang banyak, kesalahanku adalah tetap pergi walaupun tidak punya uang, hingga membebani ibu untuk hal biaya transportnya.…Bisa-bisanya dia ikut, sudah lulus sekolah masih saja ngrepotin orang tua. Tega-teganya minta uang sebanyak itu untuk ongkosnya. Seharusnya dia sudah tidak boleh meminta apapun lagi ke ibunya. Masakan tidak lihat dia, ibunya bisa menghidupi dan menyekolahkan adiknya saja itu sudah sangat luar biasa. Ibunya juga sudah bersusah-susah membayar hutang yang sedemikian banyak, juga sudah berhasil melunaskan semua tanggungan di sekolah hingga dia dapat ijazahnya. Masih mau apa lagi, untuk ukuran janda miskin, itu sudah lebih dari kapasitas. Tak boleh ada beban lagi.Apa dia tidak tahu sil-silah nenek moyang keluarganya, semua keturunan keluarga ini sudah mencari makan sendiri sejak usia lima belas tahun. Mereka mandiri dan terbiasa hidup susah. Mereka pejuang-pejuang kehidupan. Bahkan di pesantern dulu, aku tak pernah meminta kiriman dari orang tua, aku-lah yang malah mengirimi mereka uang dari sisa tabunganku, darimana aku dapat uang itu adalah pertanyaan lawas. Aku bekerja dan bekerja. Aku tak mau lagi membebani orang tuaku. Sekarang, dengan entengnya dia ikut-ikutan ke Bali minta di bayarin. Minta uang lagi, minta uang lagi, uang lagi, uang terus, uang terus, bahkan untuk hal yang tidak berguna baginya seperti bepergian ke Bali kali ini.Dan lagi, seharusnya dia masuk kerja. Apa dia kira bekerja itu sebegitu gampang untuk ditinggalkan. Awas saja kalau dia dipecat bosnya dan masih minta uang lagi ke ibunya, akan ku marahi habis-habisan dia. Memang gampang mencari pekerjaan di masa seperti ini. Awas kalau minta-minta duwit lagi. Keturunan keluarga ini tidak boleh ada yang semanja itu. Tidak boleh ada yang secengeng itu. Tidak boleh ada yang sebanci itu. Semua harus berjuang untuk apa yang dia butuhkan dan apa yang dia inginkan. Tak akan ada yang segampang uluran tangan orang lain. Kalau mau sesuatu, dia harus memperjuangkan itu sendirian. Tak ada cara lain.…Sesaat setelah pertanyaan yang serasa menyepak kepalaku itu, ku turunkan ransel dari punggung ku. “ sebaiknya aku nggak ikut saja “, kataku. Aku langsung berjalan ke arah angkutan umum yang sudah sangat siap berangkat, lalu aku turut meluncur bersamanya. Tak ku pedulikan suara ibu dan mbak yang memanggil-manggilku. Betapa mereka berdua kehilangan jasa kuli gratis. Pasti mereka berfikir, “lalu siapa yang akan membawa dua kardus besar dan ransel yang juga besar itu? “. Ah, pak lek berani mengusirku, pastilah dia punya solusi untuk itu. Walaupun aku tak kan bisa menebak solusi macam apa yang bisa diberikannya dalam keadaan itu, kecuali barang-barang itu ditinggal saja dan tidak jadi dibawa serta ke Bali. Akan terasa sangat aneh ketika mereka datang tanpa barang bawaan apa-apa. Entah lah… aku sudah lepas dari apapun. Bahkan untuk keluargaku, pak lek lebih berguna dari pada kehadiran diriku sendiri. Maka, keluargaku lebih membutuhkannya daripada aku. Aku akan hanya mengurusi diriku sendiri, asal tidak merepotkan ibu, itu sudah cukup....Kenapa pikirannya begitu pendek. Dia pikir aku ikut hanya karena membayangkan betapa senangnya perjalanan ke bali, seperti anak-anak kecil itu. apa dia kira aku masih anak kecil yang ketika ibu bilang mau ke pasar, maka aku tak akan mau tinggal di rumah, aku akan ikut, aku akan ikut-ikutan ibu saja. Tidak, aku sudah lulus SMA sederajat, aku sudah mempertimbangkan apa yang sedang ku lakukan. Aku sudah mulai untuk menjadi diriku sendiri, melakukan apapun sesuai dengan keadaan diriku sendiri. Tidak lagi ikut-ikutan orang lain.Kalau berpikir dari sudut pandang pak lek, tentu saja aku seharusnya tidak ikut ke Bali. Ngabisin duwit saja, itu intinya. Keikut sertaan pak lek di keluarga kami sejak awal adalah di bagian ekonomi keuangan keluarga. Pantas saja permasalahan keluarga kami, apapun itu, bagaimanapun itu, kapanpun dan dimanapun itu, titik pertama yang terlihat baginya adalah tentang uang. Dari arah pandang keuangan, jelas aku tidak boleh ikut. Kalau ingin ikut, aku harus membayarnya sendiri. Tapi kalau lihatlah dulu permasalahan ini dari arahku, tentu saja aku harus ikut, aku sangat mencintai ibu, dengan ikut ke Bali aku bisa, minimal berusaha mengurangi kerepotannya dan berusaha menjauhkannya dari bahaya. Dan, tentu saja uang masih kalah dengan itu. Lagipula ibu dengan sukarela mau membayar ongkosku, karena aku memang dibutuhkan untuk membawa barang-barang berat itu. Ah, andai saja uangku cukup untuk ongkos, masalahnya aku memang belum menerima gaji bulan ini.Seandainya juga pak lek mau sedikit saja mengintip permasalahan ini dari sudut pandangku. Maka yang terlihat bukanlah hanya masalah uang. Maka tidak akan hanya sampai disitu pertimbangannya. Seharusnya, pada permasalahan apapun, dia membayangkan juga, bagaimana pikiran orang lain terhadap permasalahan itu.

PERSAHABATAN

Pagi hari saat aku terbangun tiba-tiba ada seseorang memanggil namaku. Aku melihat keluar. Ivan temanku sudah menunggu diluar rumah kakekku dia mengajakku untuk bermain bola basket.“Ayo kita bermain basket ke lapangan.” ajaknya padaku. “Sekarang?” tanyaku dengan sedikit mengantuk. “Besok! Ya sekarang!” jawabnya dengan kesal.“Sebentar aku cuci muka dulu. Tunggu ya!”, “Iya tapi cepat ya” pintanya.Setelah aku cuci muka, kami pun berangkat ke lapangan yang tidak begitu jauh dari rumah kakekku.“Wah dingin ya.” kataku pada temanku. “Cuma begini aja dingin payah kamu.” jawabnya.Setelah sampai di lapangan ternyata sudah ramai. “Ramai sekali pulang aja males nih kalau ramai.” ajakku padanya. “Ah! Dasarnya kamu aja males ngajak pulang!”, “Kita ikut main saja dengan orang-orang disini.” paksanya. “Males ah! Kamu aja sana aku tunggu disini nanti aku nyusul.” jawabku malas. “Terserah kamu aja deh.” jawabnya sambil berlari kearah orang-orang yang sedang bermain basket.“Ano!” seseorang teriak memanggil namaku. Aku langsung mencari siapa yang memanggilku. Tiba-tiba seorang gadis menghampiriku dengan tersenyum manis. Sepertinya aku mengenalnya. Setelah dia mendekat aku baru ingat. “Bella?” tanya dalam hati penuh keheranan. Bella adalah teman satu SD denganku dulu, kami sudah tidak pernah bertemu lagi sejak kami lulus 3 tahun lalu. Bukan hanya itu Bella juga pindah ke Bandung ikut orang tuanya yang bekerja disana. “Hai masih ingat aku nggak?” tanyanya padaku. “Bella kan?” tanyaku padanya. “Yupz!” jawabnya sambil tersenyum padaku. Setelah kami ngobrol tentang kabarnya aku pun memanggil Ivan. “Van! Sini” panggilku pada Ivan yang sedang asyik bermain basket. “Apa lagi?” tanyanya padaku dengan malas. “Ada yang dateng” jawabku. “Siapa?”tanyanya lagi, “Bella!” jawabku dengan sedikit teriak karena di lapangan sangat berisik. “Siapa? Nggak kedengeran!”. “Sini dulu aja pasti kamu seneng!”. Akhirnya Ivan pun datang menghampiri aku dan Bella.Dengan heran ia melihat kearah kami. Ketika ia sampai dia heran melihat Bella yang tiba-tiba menyapanya. “Bela?” tanyanya sedikit kaget melihat Bella yang sedikit berubah. “Kenapa kok tumben ke Jogja? Kangen ya sama aku?” tanya Ivan pada Bela. “Ye GR! Dia tu kesini mau ketemu aku” jawabku sambil menatap wajah Bela yang sudah berbeda dari 3 tahun lalu. “Bukan aku kesini mau jenguk nenekku.” jawabnya. “Yah nggak kangen dong sama kita.” tanya Ivan sedikit lemas. “Ya kangen dong kalian kan sahabat ku.” jawabnya dengan senyumnya yang manis.Akhinya Bella mengajak kami kerumah neneknya. Kami berdua langsung setuju dengan ajakan Bela. Ketika kami sampai di rumah Bela ada seorang anak laki-laki yang kira-kira masih berumur 4 tahun. “Bell, ini siapa?” tanyaku kepadanya. “Kamu lupa ya ini kan Dafa! Adikku.” jawabnya. “Oh iya aku lupa! Sekarang udah besar ya.”. “Dasar pikun!” ejek Ivan padaku. “Emangnya kamu inget tadi?” tanyaku pada Ivan. “Nggak sih!” jawabnya malu. “Ye sama aja!”. “Biarin aja!”. “Udah-udah jangan pada ribut terus.” Bella keluar dari rumah membawa minuman. “Eh nanti sore kalian mau nganterin aku ke mall nggak?” tanyanya pada kami berdua. “Kalau aku jelas mau dong! Kalau Ivan tau!” jawabku tanpa pikir panjang. “Ye kalau buat Bella aja langsung mau, tapi kalau aku yang ajak susah banget.” ejek Ivan padaku. “Maaf banget Bell, aku nggak bisa aku ada latihan nge-band.” jawabnya kepada Bella. “Oh gitu ya! Ya udah no nanti kamu kerumahku jam 4 sore ya!” kata Bella padaku. “Ok deh!” jawabku cepat.Saat yang aku tunggu udah dateng, setelah dandan biar bikin Bella terkesan dan pamit keorang tuaku aku langsung berangkat ke rumah nenek Bella. Sampai dirumah Bella aku mengetuk pintu dan mengucap salam ibu Bella pun keluar dan mempersilahkan aku masuk. “Eh ano sini masuk dulu! Bellanya baru siap-siap.” kata beliau ramah. “Iya tante!” jawabku sambil masuk kedalam rumah. Ibu Bella tante Vivi memang sudah kenal padaku karena aku memang sering main kerumah Bella. “Bella ini Ano udah dateng” panggil tante Vivi kepada Bella. “Iya ma bentar lagi” teriak Bella dari kamarnya. Setelah selesai siap-siap Bella keluar dari kamar, aku terpesona melihatnya. “Udah siap ayo berangkat!” ajaknya padaku.Setelah pamit untuk pergi aku dan Bella pun langsung berangkat. Dari tadi pandanganku tak pernah lepas dari Bella. “Ano kenapa? Kok dari tadi ngeliatin aku terus ada yang aneh?” tanyanya kepadaku. “Eh nggak apa-apa kok!” jawabku kaget.Kami pun sampai di tempat tujuan. Kami naik ke lantai atas untuk mencari barang-barang yang diperlukan Bella. Setelah selesai mencari-cari barang yang diperlukan Bella kami pun memtuskan untuk langsung pulang kerumah. Sampai dirumah Bella aku disuruh mampir oleh tante Vivi. “Ayo Ano mampir dulu pasti capek kan?” ajak tante Vivi padaku. “Ya tante.” jawabku pada tante Vivi.Setelah waktu kurasa sudah malam aku meminta ijin pulang. Sampai dirumah aku langsung masuk kekamar untuk ganti baju. Setelah aku ganti baju aku makan malam. “Kemana aja tadi sama Bella?” tanya ibuku padaku. “Dari jalan-jalan!” jawabku sambil melanjutkan makan. Selesai makan aku langsung menuju kekamar untuk tidur. Tetapi aku terus memikirkan Bella. Kayanya aku suka deh sama Bella. “Nggak! Nggak boleh aku masih kelas 3 SMP, aku masih harus belajar.” bisikku dalam hati.Satu minggu berlalu, aku masih tetap kepikiran Bella terus. Akhirnya sore harinya Bella harus kembali ke Bandung lagi. Aku dan Ivan datang kerumah Bella. Akhirnya keluarga Bella siap untuk berangkat. Pada saat itu aku mengatakan kalau aku suka pada Bella.“Bella aku suka kamu! Kamu mau nggak kamu jadi pacarku” kataku gugup.“Maaf ano aku nggak bisa kita masih kecil!” jawabnya padaku. “Kita lebih baik Sahabatan kaya dulu lagi aja!”Aku memberinya hadiah kenang-kenangan untuknya sebuah kalung. Dan akhirnya Bella dan keluarganya berangkat ke Bandung. Walaupun sedikit kecewa aku tetap merasa beruntung memiliki sahabat seperti Bella. Aku berharap persahabatan kami terus berjalan hingga nanti.

IDOLA DAN KEKASIH

Apartement tinggi ini tetap berdiri kokoh ketika tubuh kekarmu menindih tubuhku dengan angkuhnya. Apartement ini dengan kuatnya menancap kedasar bumi seperti kamu dengan sekuat tenaga membobol bagian belakang tubuhku. Dekapanmu yang erat seolah tak ingin melepaskanku. Nafas gairahmu terasa hangat dibelakang leherku. Lolonganku yang panjang membuat bekas cengkaraman tangan dipundak kokohmu. Kita tidak menginginkan malam bergulir tergantikan pagi. Kita tidak ingin melihat cahaya bintang dan bulan ditenggelamkan sinar matahari. Malam ini milik kita berdua. Aku dan kamu. Lelaki idola dan kekasihku. Lima finalis idola nusantara dari wilayah timur telah terpilih. Arro salah satunya. Menumpang gerbong ekonomi, Arro berangkat ke ibukota. Satu-satunya jembatan yang bisa menghubungkan mimpi menjadi nyata. Ada bangga yang aku tinggalkan. Ada mimpi yang aku ingin wujudkan.Jarum jam belum lama meninggalkan angka sepuluh. Suasana ramai menyapaku ketika memasuki ruangan audisi. Dendangan lagu-lagu popular terdengar, menambah ramai suasana. Pandangan mataku menyapu bersih deretan kursi, melihat apa masih ada kursi yang kosong. Tersisa dua kursi. Baris kelima dari depan. Aku berjalan, mencari celah diantara kursi-kursi yang sudah diduduki. Akupun duduk dengan diam.Tidak terlalu lama, datang pemuda berperawakan tinggi besar. Hidungnya mancung. Wajahnya begitu rupawan. Diatas matanya yang menawan terdapat alis yang tebal. “Maaf. Kursi ini kosong?” tanya dia.Ketajaman tatapannya membuat bibirku membeku dan kaku.“O……eee…….ee………kosong………..kosong…!”“Silakan!”Dia duduk seenaknya. Beselonjor dan mengangkang. Memaksa mataku memandang turun. Ada yang menonjol keras diantara selangkangannya. Dengan telapak tangannya yang kuat, dia menjabat telapak tanganku yang lembut.“Dandy”“Arro”Setelah perkenalan, kami sama-sama terdiam. Ada kebisuan diantara kami. Tapi mataku yang mampu berbicara. Untuk melihat seluruh lekuk tubuhnya.Tiba-tiba wajahnya yang rupawan menoleh padaku. Memburamkan penglihatanku.“Kamu dari wilayah mana?”“Timur.”Jawabannya singkat tapi meninggalkan kelembutan ditelinga Dandy. Bahkan terlalu lembut bagi suara laki-laki.Wajah Arro mencerminkan ketampanan bercampur dengan kecantikan. Hidung dan dagu menampakkan ketampanan. Bibir tipis dan bulu mata yang lentik mempercantik wajahnya.“Aku dari wilayah barat,” kata Dandy tanpa mau berpaling memandangku.Dandy memaksa mengusir kebisuan dan berusaha mencairkan kebekuan bibirku. Obrolan kami terhenti. Para juri terlihat berdiri didepan.“Sebelum audisi, kami bagi jadi dua kelompok, barat dan timur,” kata seorang juri. Pembagian itu membuat kami terpisah. “Aku kesana dulu ya……..”pamitnya sambil tersenyum.Dandy berlalu meninggalkanku. Berjalan kesudut ruangan dan bergabung dengan teman-temannya dari wilayah barat.Jarak memisahkan kami. Lewat jembatan hati, kedua mata kami menyeberangi jarak itu. Hanya untuk saling beradu pandang. Cintapun berpendar dari kedua pasang mata kami. Setelah babak juri yang memilih, terpilh dua belas finalis untuk melaju kebabak sms yang memilih. Masing-masing kelompok mewakilkan enam finalis. Semua finalis akan hidup bersama dalam satu rumah, enam kamar selama tujuh puluh lima hari. Dengan aturan satu kamar untuk dua finalis, berlainan kelompok dan tidak boleh berlainan jenis. Undian telah dimulai dan memilih Arro dengan Dandy tinggal dalam satu kamar. Cintapun mendatangi kamar kami untuk merajut hati penghuninya. Selama tiga purnama, bulan selalu menemani tiap show kami. Menerangi cinta kami sampai malam yang kami nanti.Babak sms telah memilih Arro dan Dandy menjadi dua finalis idola nusantara. Ada kebahagiaan terpancar dari kedua mata kami, tapi tak mampu menutupi kesedihan nurani kami. Seminggu kami terpisahkan oleh dinding-dinding kokoh dan pintu-pintu yang terkunci. Terjebak kesunyian. Sepi. Sendiri dalam kamar. Panggung besar telah disiapkan. Lampu-lampu sudah dinyalakan. Sorot kamera siap menyambut show kami. Para juri datang untuk memberi komentar yang terakhir. Keluarga Arro dan Dandy hadir, berbaur dengan Arroker’s dan Dandy-Dandy’s. Untuk mendukung sang idola nusantara.Jutaan sms telah memilih Arro menjadi idola nusantara tahun ini. Airmataku meluapkan kegembiraan dan menjalar keseluruh Arroker’s yang hadir malam itu. Mimpi itu berubah wujud menjadi kepopuleran, kesuksesan dan kekayaan. Malam grandfinal telah usai. Perayaan kemenangan dikamar Arro baru dimulai. Ucapan selamat, datang bagai angin malam yang menghembuskan hawa dingin dihati Arro. Keluarga yang datangpun belum mampu menghangatkan.Kehangatan baru Arro rasakan ketika tangan Dandy yang membentuk pelukan dan bibir Dandy yang berucap selamat.“Selamat ya……Ro,” bisik Dandy. Bisikan yang menghangatkan telingaku. Bisikan yang menggugah birahiku. Dia mengucap kata janji untukku. Hadiah akan diberikan jika penghuni kamarku tinggal mereka berdua. Hadiah yang terbungkus kekekaran dan kekuatan. Hadiah tanpa pita. Hanya butuh gairah untuk membukanya. Hadiah yang memberiku kegembiran abadi, kesenangan sejati dan kebahagiaan tiada henti.Malam telah larut. Keluarga Arro pulang membawa kegembiraan. Meninggalkan kebanggaannya. Para juripun berpamitan pulang meninggalkan kami berdua dikamar tanpa kecurigaan. “Ini hadiah untukmu Ro……kejantananku milikmu malam ini,” ucapmu menggoda.Dalam kamar yang dikelilingi dinding-dinding moral. Terkuat dan terkokoh. Tapi kami mampu melubanginya dengan tatapan, sentuhan, cumbuan dan cucuran keringat. Hingga kita robohkan dinding-dinding moral itu dengan cairan lengket yang tersembur keluar dari selangkangan.

TELAT SEKOLAH

hari itu tanggal merah,hari senin bertepatan pada hari kemerdekaan indonesia tanggal 17 agustus,semua orang mengadakan upacara bendera untuk mengenang masa kemerdekaan.Termasuk kami,murid sekolahan yang wajib mengikuti kegiatan tersebut.aq sebagai murid SMPN1 Pangkalpinang wajib mengikuti upacara,mau tdk mau aq harus mengikuti kegiatan tersebut.malam nya sebelum menjelang hari kegiatan itu aq tidak tahu kalo besok nya akan ada kegiatan tersebut.jadi aq tidur nya malam sekali,aku tenang” saja seperti tanpa ada masalah. ketika menjelang pagi hari nya tiba” teman aq dtg dan mengajak aq ke sekolah.dia memanggil q,”pegi......pegi.....!!!!” kata fauzi.kemudian aq datang menghampirinya dengan mata yang redup dan berkata ”ad ap?”.”ayo berangkat ke sekolah” kata fauzi.”ke sekolah???emank nya ada apa?” tanya aq.”hari ini kan kita upacara.....!!!”kata si fauzi.”ooh iy....aq lupa kalo kita hari ini upacara”kata aku sambil kebingungan dan terkejut.hari sudah hampir jam 6.45,tapi aq belum siap ap”.”zi.....tunggu sebentar,aq mau mandi dulu”kata q sambil tergesah.”cepetan.....upacara hampir mulai,percuma aj klo udh di mulai trus kita datang telat,psti gak di boleh masuk”kata fauzi.”iya-iya sabar donk....aku kan gak tau”kata aq sambil mau mengambil handuk.
Eh lagi asiknya mandi tiba-tiba handphoneku bunyi.Gimana nih, terpaksa deh aku keluar dari kamar mandi berlilit handuk masih basah kuyup.Yak, berhasil mencapai handphone dan kuangkat “ halooowww..tiba-tiba terputus trus aq bilang”sialan ni orang gak tau apa lagi asyik-asyik mandi malah di teleponin .setelah mandi aq berganti baju dengan terburu-terburu,sampai-sampai baju aq tidak rapi.wktu mau berangkat sekolah aq ketinggalan topi,untung fauzi mengingat kan aku.Sesampai nya di sekolah kami tepat waktu,”heeeuh......hampir saja,iy gk zi?”kata aq sambil menghembuskan nafas.trus fauzi blg”hampir ap ny?kita udah telat niie....buruan”.trus aq bilang"kita...????lo aja kale gwe gak.akhir nya kmi mengikuti upacara dengan lancar,dan gak di marahin sama guru.hihihihi.....!!!!

KESEPIAN

KESENDIRIAN DAN KEPAHITANAku harus benar benar merasakn sendiri dan sepi.aku seperti tidak akan pernah dapat keramain lagi.semua orng meninggalkanku.terlalu bodohkah aku,terlalu jahatkah aku,atau aku benar-benar terlalu congkak? Saat aku mulai membenahi diri,tapi semua orang pergi menjauh.."aku harus kuat"gumamku setiap waktu.kakiku terus melangkah..sembari melihat sekeliling orang yang sedang bergunjingmembicarakanku,lalu orang-orang itu mnjuh dengan meludahiku.perih...melihatnya.Pernah aku merubah jalan hidupku dengan merubah penampilan,aku mengganti semua postur dan profil tentang aku.orang yang pertama kali aku datangi adalah keluargaku,tapi apa yang terjadi....merekapun seperti tidak melihat kehadiranku.mereka hanya diam,tidak berkomentar.dan memang tidak mempedulikanku.aku pun pergi,dan mendatangi sahabat dekatku,lalu yang terjadi lagi,dulu dia sahabat baik yang pernah bersukahati denganku.Tapi..dia meludahiku saat aku dtang dihadapannya,apalgi melihat penampilanku yang dibilang dia norak dan"menjijikan".Aku pun balik kanan,pergi meninggalkan mereka,dan kembali melangkah dikeramaian.tidak...keramaian itu lebih sakit...gunjingan keramaian sampai memekakan telinga.Aku pun berlari..meninggalkan langkah pelan menjadi seribu langkah dan seribu kekalutan.akhirnya aku berhenti,dan mencoba kembali dengan penampilan asliku.kucoba kembali ke mereka....tapi tetap mendapat perlakuan yang sama.Tuhan...tolong aku,aku seperti tidak kuat menghadapinya.Akupun melangkah lagi,tertunduk sendiri,membawa penyesalan dan duka yang sangat dalam.Akhirnya aku ingat...aku harus bersimpuh di sajadah.....aku kembali kepadaNya.setiap hari aku mengerjakan kewajibanku,tanpa kenal waktu terus aku bersimpuh.lama...malah datang sebuah bisikan yang akhirnya membuat aku takut."aku takut mati".Subhanallah.....aku benar-benar takut mati.dalam hidupku aku sendiri...terus..kalau aku mati,siapa yang akan menguburku,dan dimana aku harus dikubur?apa aku harus menyerahkan jasadku pada binatang yang akan mengoyak-ngoyak tubuhku sampai hancur dan habis.Ya Allah....ampuni dosaku.imanku tipis tidak kuat."akh...."aku berteriak,karna aku tidak bisa menangis.air mataku sudah habis dengan kesendirian.apa yang harus aku lakukan.tolong aku....Akhirnya..aku harus benar merasakan kepahitan.sewaktu lama ku merasakan takut,sembari aku bersimpuh disajadah dan menghadapnya....akupun mendengar bisikan lagi.."cepat lari....."mendengar bisikan itu aku berlari sekencang-kencangnya.....jauh..dan jauh...sampai tiba aku melihat kerumunan orang banyak ditengah jlan raya.apa yang terjadi???kulihat seseorang tergeletak bersimpah darah...matanya melotot dan bibirnya berbusa.dimatanya masih menetes seperti air mata,tapi air mata itu berwarna merah.darah."kenapa perempuan itu?" lalu kudengar seseorang berkata...dia mati diseruduk kontener,karena dia berjalan ditengah jalan.aku terus memperhatikan jasad perempuan itu.........tidak...kucubit lenganku.dan tidak merasakan sakit,kucolek orang disebelahku.tapi dia tidak melihatku.tidak...jasad perempuan yang tergeletak itu adalah aku......aku mati........mengenaskan...

CINTA TERLARANG

Aku menatap kosong langit-langit kamar rumah sakit, entah mengapa aku sangat kehilangan dia, cinta yang terlarang untuk kami berdua, aku sangat mencintainya begitu dia juga mencintaiku tapi mengapa dia tega meninggalkanku.
“Nin” suara sahabatku Nanna, aku pun menoleh dan meneteskan air mata “kamu kenapa Nin?”
Aku membenamkan wajahku di telapak tangan dan menangis tersedu-sedu “aku sangat mencintainya lebih dari apa pun”
“Aldo?” ucapnya “ atau Raka?”
“bukan” paparku “mungkin kamu ngga percaya kalau ini benar-benar terjadi dalam kehidupanku”
“cerita lah Nin, aku siap mendengarnya ko” ujar Nanna sambil menyeka air mataku.
Aku bangun dan duduk di ranjang rumah sakit sambil bersender, Nanna membantu aku untuk duduk, aku terdiam sejenak. Aku menatap kosong lagi langit-langit kamar rumah sakit yang bercat putih.
“Nin” ucap Nanna membuyarkan lamunanku.
“Nann, terserah kamu percaya atau ngga tapi ini benar-benar terjadi” ucapku
“aku akan percaya padamu, Nin”
Aku mengambil surat yang di berikan Alva untukku, dan ku serahkan surat itu ke Nanna kemudian membacanya. Aku lihat ekspresi Nanna mimik wajahnya berubah menjadi bingung.
“siapa Alva? Trus apa maksud isi surat ini?” tanyanya bingung
“aku akan menceritakan siapa Alva”
*****
Ketika keluargaku pindah ya walaupun masih dalam satu kota tapi aku merasa jauh dari sahabatku Raka, setelah sampai di rumah baruku, Rumah yang bernomor 13 ini sangat luas, ada pagar besar kuno yang menyelimuti rumah, rumah ini berlantai dua dan bercat putih bersih, pintu-pintu yang tinggi. Di samping rumah terdapat ayunan dan taman yang terlihat sangat terawat, ternyata rumah ini ada juga yang merawat pikirku, tapi siapa yang mau merawat rumah sebesar dan seseram ini. Di taman itu ditumbuhi dengan berbagai macam jenis mawar, dan di depan rumah ini pun terdapat air mancur dan kolam ikan.
Aku terus mengamati setiap keliling rumah ini, kita pun sampai di atas, sudut dan ruangan di lantai ini tak kalah kuno dan klasiknya dibandingkan dengan lantai bawah.
Setelah puas melihat-lihat rumah baru kami, bunda mengajak kami ke kamar baruku, Bunda membuka pintunya dan dia masuk terlebih dulu, disusul dengan kami yang berada dibelakangnya.
“waww” seruku kaget
Kamarku luas dan dindingnya bercat biru muda, warna kesukaanku, aku sangat menyukai kamar ini, tapi yang sangat mengalihkan perhatianku ada sebuah lampu yang bentuknya kotak dan terbuat dari kayu, ditengahnya ada dua naga yang sedang merebutkan hati, ranjangku sangat besar dan bernuansa cream, wardrobe yang ku milikipun besar warnanya cream dan disekelilingnya ada motif-motif bunga yang tak kumengerti, dekat jendela kamarku terletak lemari buku dan sebelahnya ada meja belajar dan komputer, jendela itu menghadap ke arah barat sehingga aku bisa melihat langsung kearah taman,
Setelah kami menempati rumah ini beberapa hari, ada sedikit kejanggalan, pertama aku melihat mang Idam ngobrol dengan pria misterius yang sampai sekarang membuatku penasaran kedua di dalam lemari pakaianku ada selembar kertas kucel yang isinya tolong rawat kamar ini dan ketiga mimpi buruk itu yang membuatku ketakutan.
Awalnya aku senang bisa bertemu pria tampan di dalam mimpiku yang sedang bermain piano di dekat rumah mewahku, tiba-tiba pria itu berdiri dari kursi lalu berjalan menghampiriku, aku masih tetap berdiri di tempat tanpa ada rasa takut dan khawatir saat seseorang yang tak ku kenal menghampiriku. Dia tersenyum dan mengulurkan tanganya, aku hanya diam karena masih terpanah melihat ketampanannya, dia tertawa, suara tawanya membuat bulu kudukku meremang. Aku mengerjapkan mata lalu aku tersenyum.
“hai” sapaku
Dia hanya tersenyum dan berjalan mengelilingiku, aku tetap diam dan tak bergerak sedikitpun dan dia pun masih mengelilingiku beberapa kali, seketika aku menerjap terkejut karena dia memelukku dari belakang, harum tubuhnya, lembut kulitnya, dingin hembusan nafasnya, dan jarinya yang lembut mulai erat memelukku. Dan aku berharap jantung ini tidak keluar dari tempatnya.
Dia semakin erat memelukku hingga aku tidak bisa lagi bernafas, aku mencoba mencari sedikit udara agar masuk kedalam hidungku dan aku juga berusaha untuk melepaskan pelukannya tapi tidak bisa, aku coba untuk memberontak, aku berbalik menghadapnya dan ku coba untuk melihat wajahnya, tapi dia menggeram seperti kesakitan dan tiba-tiba dia berubah, berubah menjadi monster yang sangat mengerikan. Aku berteriak histeris dan meminta tolong, aku menangis, aku merontah kesakitan karena monster itu memelukku semakin erat lagi. Mata merah monster itu melotot seperti hampir keluar dan di sela-sela matanya mengalir darah segar, monster itu masih sangat erat memelukku dan akupun mulai terkulai lemas, akhirnya aku pingsan dan seketika itu dia langsung melepaskanku dari pelukannya.
Dan aku terbangun, aku terengah-engah, mimpi itu terlihat sangat nyata, aku masih ketakutan. Aku takut monster itu datang dan membunuhku seperti di mimpi itu. Akupun langsung mengambil gelas berisikan air putih di meja kecil samping tempat tidurku dan langsung menegaknya sampai habis. Aku bernapas terengah-engah, mengingat mimpi tadi, sangat nyata dan mengerikan hingga ku tak bisa melupakannya sampai sekarang.
Dua hari kemudian pria dalam mimpiku datang ke dalam kamarku, dia mendekatiku aku ketakutan tapi pria itu selalu tersenyum.
“hai aku Alva meyer” ucapnya lalu mengulurkan tanganya
“hai juga” suaraku bergetar
“oh Nindy aku tak kan melukaimu” ucapnya membuatku bingung bagaimana dia bisa tahu namaku.
Pertemuan itu adalah Awal petemuan kami dan aku belum tahu bagaimana dia bisa masuk ke kamarku, kejadian ini aku tidak beritahu ke dua orang tuaku karena aku takut mereka akan khawatir.
Rahasia besar rumah ini aku tahu sedikit demi sedikit ketika bunda menyuruhku membeli sayuran.
“baru pindah ya neng?”Tanya ibu tua itu
“iya bu”jawabku
“di mana neng?”
“di jalan Arthur nomor 13”ucapku
“ha?”ibu tua itu kaget.”yakin neng tinggal di rumah tua itu?”
“iya emang kenapa bu?”tanyaku penasaran
“denger-denger rumah itu angker”
“masa si?”ucapku tidak percaya
“dua minggu yang lalu, tetangga saya lewat rumah itu jam 1 dia habis main ke rumah istri mudanya, nah pas lewat di depan rumah itu dia denger suara piano trus di belakang dia ada yang nepak pundak dia, otomatis dia langsung balik badan. ternyata ada pemuda ganteng trus berubah wujud menjadi monster mengerikan lalu tetangga saya pingsan”
“aku masih tidak percaya”
“ya itu mah terserah neng, bukanya saya nakutin ya neng tapi ini fakta trus dulu juga rumah itu pernah kebakaran”
“kebakaran” ucapku kaget
“iya denger-denger waktu tahun 1999 rumah itu kebakaran trus penghuninya mati semua, katanya juga si penghuninya orang bule”ucap ibu tua
“tapi katanya rumah itu sudah hangus tapi…”
“iya memang sudah hangus, salah satu keluarga dari mereka membangun rumah itu lagi”
“oh”
“waktu tahun 2003 ada yang membeli rumah itu, apa coba yang terjadi sama keluarga mereka?”Tanya ibu tua.”mereka menghilang”
Aku hanya terdiam, apa Alva yang di maksud ibu tua itu, kalau iya apa yang harus ku lakukan untuk menyelamatkan keluargaku.
“dan 2 tahun kemudian mayat keluarga itu di temukan”
“di mana?”tanyaku
“di belakang rumah itu, kayanya di kubur hidup-hidup”ucapnya.”oh ya neng ini belanjaanya”
“berapa bu?”
“35.000 saja” ujarnya, ”maaf ya neng tadi ibu buat neng takut”
“oh tidak”ucapku.”makasih bu”
“sama-sama neng ati-ati ya neng”
Kejadian itu membuatku lebih penasaran lagi tentang misteri yang ada di dalam rumah itu, malamnya pun Alva datang lagi dan dia menceritakan semua kalau dia bukan manusia dan dunianya berbeda dengan duniaku, tak ada rasa takut ketika aku berada di sisinya malahan aku merasa aman dan nyaman, seiring berjalannya waktu cinta kamipun mulai tumbuh.

Dia juga menceritakan kenapa dia menjadi seperti ini, menurutnya semua ini karena perbuatan pamannya yang tidak menyukai ibunya, sehingga pamannya itu tega membunuh ayahnya dan membakar habis rumahnya.



Dia juga membawaku ke dalam dunianya , sebelum ke sana dia memakaikan sebuah cincin di jari manisku katanya biar orang yang ada di dunia Alva tidak tahu kalau ada manusia di dunianya, karena mereka tidak suka ada manusia berada di dunianya dan mengetahui keberadaannya.

Rumahnya begitu besar seperti sebuah castil kuno yang sangat mewah, Didalamnya bagaikan istana dalam dongeng, sangat indah dan menakjupkan, bahkan aku tak bisa menafsirkannya lebih detail. Di dalam rumah banyak sekali bunga mawar, Alva memetik mawar yang setengah mekar itu dan menyelipkanya di telingaku. Alva menggandeng tanganku, kami menuruni anak tangga Alva meremas tanganku ternyata tanganku bergetar, Alva memelukku lagi dia mengusap-usap rambutku. Kami masuk ke kamarnya, ranjangnya sangat mewah dan besar ukiranya di taburi emas juga berlian. Di sebelahnya juga terdapat lampu seperti yang aku punya tapi lampu ini terlihat lebih mewah, lampu itu terbuat dari kaca dan kedua naga itu terbuat dari emas lalu hati terbuat dari Kristal, di sebelah utaranya terdapat lukisan seorang pemuda yang sama persis seperti lukisan yang ada di ruang tengah rumahku.
Karena aku kelelahan Alva mengantarku pulang, esoknya Alva ke kamarku lagi dan menegajakku untuk melihat lebih jelas lagi didunianya. Dia mengajakku kesebuah taman yang indah yang bagaikan surga, wangi bunga menusuk relung hatiku, di sebelah utara terdapat sungai yang mengalir jernih dan pohon-pohonnya sangat indah dan terawat. Kami berdua bermain air di sungai itu, tapi ….
“ALVA” suara itu menggema
Aku memandang takut ke arah Alva lalu Alva memelukku erat, aku membenamkan wajahku di dadanya, dan aku mendengar suara langkah kaki menuju ke arah kami. Aku heran kenapa mereka bisa melihatku dan ternyata aku lupa memakai cincin yang di kasih Alva, kenapa aku bisa lupa dan sebodoh ini.
“maksud kamu apa Alva?” tanya suara pria cadas itu
“dia tidak akan macam-macam Apro, percayalah !!” ucap Alva menyakinkan
“kamu berani bawa manusia kesini!”gertak pria satunya
Aku melihat ada 3 pria dan 2 wanita, mereka menatap garang ke arah aku dan Alva.
“dia tidak akan macam-macam” ucap Alva lagi
“aku tidak percaya” kata Apro
“Daniel percayalah” Alva berusaha mencari pembelaan
“tidak” tukas Daniel
Alva menggendongku lalu berlari tiba-tiba Alva terpental dan melepaskanku dalam gendonganya dan aku sudah dalam dekapan gadis pirang yang berada disebelah seorang yang kufikir bernama Apro, Alva meronta kesakitan, dia berteriak histeris dan badanya kejang-kejang.
“aku mohon jangan sakiti dia” ucapku mencoba meronta dari dekapan gadis pirang. Daniel menatapku dan menyunggingkan senyuman jijik
“kamu bisa apa manusia?” serunya
“dia hanya bisa menangis” Apro menimpali
“lepaskan dia Jessi” kata Daniel. Jessi melepaskanku dan aku berlari mendekati Alva.
“jangan mendekat Nin, kamu akan tersengat” ucap Alva. Aku hanya bisa diam dan melihat Alva kesakitan.
“SEHARUSNYA KALIAN JANGAN MAIN HAKIM SENDIRI !!!” suara itu menggema, membuat kami menoleh. Daniel dan kawan-kawan lalu bersujud.
“maafkan kami Yang Mulia” ujar Apro
“bawa dia ke tempat persidangan” ujar Suara itu lagi
“baik Yang Mulia” ujar Apro. Alva bangkit berdiri lalu dia memelukku kembali.
“kita akan baik-baik saja” bisiknya di telingaku
Daniel memandangku garang, aku terus membenamkan wajahku ke dada Alva. Kami memasuki tempat persidangan tempat itu semuanya berwarna merah dan banyak orang di tempat itu, Alva berhenti.
“semuanya akan baik-baik saja momm” ucap Alva
“mom percaya kamu tidak melanggar aturan” ucap wanita itu lembut
Alva masih memelukku, aku gemetar ketakutan dan air mataku terus mengalir, Alva duduk di kursi yang paling tengah dan aku berada tepat disampingnya, di depannya ada empat pria yang sudah beruban dan berjanggut panjang sedada menatap kami.
“Alva kau melanggar aturan” ucap Neel
“tidak Neel, aku mencintainya” ujar Alva
“kamu mencintai manusia ?”, ujar Neel marah, “MUSTAHIL !!!!”
“aku benar-benar mencintanya” ucap Alva lagi, dan nadanya terdengar sangat sunguh-sungguh.
Mereka bertiga berdiskusi kembali, tempat ini sangat hening walaupun banyak orang yang menonton.
“hai kau manusia” ujar Neel, “lihatlah kecermin itu”
Aku memandangi cermin besar di samping keempat orang itu lalu gambar itu muncul dan ternyata keluargaku yang sedang tidur dan di selimuti kabut merah.
“apa yang kalian lakukan?” tanyaku histeris
“hahaha” tawa Neel menggema, ”ternyata kamu juga sangat mencintai keluargamu” ujar Neel
“aku mohon jangan sakiti mereka” ucap Alva memohon
“hmm” gumam Neel
Mereka kembali berdiskusi, Alva mengusap kelopak mataku yang sudah berkantung.
“tidurlah Nin, kamu terlalu lelah” bisik Alva
“tidak” suaraku tercekat di tenggorokkan
“kita akan baik-baik saja”
Bagaimana mungkin aku tidur sedangkan nyawaku dan keluargaku dalam bahaya, aku terus berusaha untuk tidak tidur. Tapi rasa kantukku sangat menguasai diriku dan aku pun mulai terlelap.
Aku terbangun tenggorokkan ku kering, aku mengusap keningku yang berdenyut-denyut. Alva memandangiku lalu tersenyum.
“kamu haus?” tanya Alva. Aku mengangguk
“biar mom yang ngambil minum buat dia” kata nyonya Mayer
Tidak lama kemudian dia membawa air putih. Alva meraih gelas itu dan aku meminumnya sampai habis. Aku terlalu kuat untuk mengigit gelas itu dan gelas itu retak.
“Nin, maafkan aku” ucapnya. Aku mengusap pipi Alva, dan matanya mulai berkaca-kaca
“aku mencintaimu” ucapku
“aku juga, waktunya aku mengantar kamu pulang”
Dia mencium keningku dengan bibirnya yang lembut, aku pun memejamkan mataku. Dari dulu aku tidak mempercayai hal-hal mistik, tapi sekarang aku mempercayainya karena aku mencintai makhluk tampan dari dunia yang berbeda dengan duniaku, ternyata tidak semuanya mereka jahat, mereka juga sama seperti kita yang mempunyai hati untuk mencintai dan di cintai.
Paginya rumahku terbakar hangus, keluargaku mengira semua ini kesalahan mereka, aku mengetahuinya setelah aku membaca sepucuk surat yang berada disampingku ketika aku sadar dirumah sakit, ternyata pertemuan itu adalah pertemuanku yang terakhir dengannya.
dear nindy

mafkan aku telah membuatmu ketakutan
aku mencintaimu, nin.
aku sangat menyayangimu
tapi…
dunia kita berbeda
aku tidak mungkin memintamu hidup bersamaku selamanya
kamu sangat teristimewa dalam hidupku

nin…
dengan cara ini kita berpisah
aku tidak bisa mengatakan ini langsung ke kamu
karna aku tak sanggup

mafkan juga aku telah membakar rumahmu
karna aku ingin kamu melupakanku
mungkin dengan cara itu aku bisa menghapus kenangan kita

aku sangat mencintaimu…
lupakanlah aku…
hiduplah dengan bahagia bersama orang-orang
yang mencintaimu

ALVA MAYER




*****
“Nin, aku belum sepenuhnya percaya dengan apa yang kau ceritakan tadi” ucap Nanna, “dan aku heran apa masih ada lagi kehidupan setelah kehidupan disini” tanya Nanna heran.
“terserah kamu mau percaya atau tidak yang jelas aku sudah menceritakan semuanya pada kamu” tukasku, “Aku tidak menyangka dia meninggalkanku sendiri dalam keadaanku yang seperti ini, bahkan dia membakar semua kenangan yang sudah kita lewati” ucapku sedih
“sudahlah Nin, kamu ngga sendiri ko, masih ada tante, om, Ika, Raka dan aku yang selalu menemani kamu dan menghibur kamu” hibur Nanna, “kamu ingat kan dulu kamu juga mengalami hal seburuk ini tapi kamu masih bisa melewatinya” tambah Nanna
Aku tersenyum dan memeluk Nanna dengan erat, Nanna adalah sahabatku yang selalu ada buat aku, dia selalu menghiburku saat aku sedih, senang bahkan terpuruk sekalipun. Waktu Aldo meninggalkanku demi bola basket pun dia menghiburku dengan segala sesuatu yang bisa membuatku terus tersenyum dan bahagia sehingga bisa melupakan semua kejadian tentang perbuatan yang dilakukan Aldo terhadapku. Tapi, semua ini berbeda, sekarang aku bukan hanya kehilangann cinta dari seorang lelaki, tapi aku kehilangan jiwaku dan aku ngga tahu apakah jiwa itu bisa kembali lagi dengan utuh atau tidak.
Walaupun dia pergi meninggalkanku membawa jiwaaku dan dengan teganya dia menyuruhku membuang semua kenangan tentang kita dalam ingatanku, aku ngga akan pernah melakukannya, aku akan menyimpan semua kenangan ini menjadi sebuah kenangan yang takan pernah kulupakan seumur hidupku.
Ketika cintanya mengalun di hatiku, ketika cintanya menari di otakku, ketika cintanya menjilat di tubuhku, aku semakin tenggelam dalam dunia cintanya, selamat tinggal kekasihku, aku akan mencintaimu selamanya, teruslah berada di sampingku walaupun aku tidak merasakan kehadiranmu, dan hiduplah di dalam hati kecil ku selamanya.

***TAMAT***

sinopsis

CINTA TERLARANG

Apakah yang bisa dilakukan Nindy untuk mempertahankan cintanya ?
Ketika cinta yang disodorkan Alva sangat tulus namun terlarang
karena mereka berada di dunia yang berbeda dan sulit baginya untuk mengelak.
Apa yang bisa di lakukan Nindy dan Alva untuk melanjutkannya ?
Karena cinta ini terlarang untuk mereka.

Alva muncul dalam kehidupan Nindy secara tiba-tiba, menawarkan sebentuk
cinta untuk Nindy, apakah Nindy bisa menerimanya ketika dia tahu bahwa
Alva dan dia hidup di dunia yang berbeda.
dan apa yang di lakukan Alva ketika mengetahui bahwa keluarganya
tidak menyukai keberadaan Nindy di dalam dunia Alva.
Apakah jalan yang dipilih Alva untuk menyelesaikan masalahnya.
Mampukah Nindy melupakan semua kenangannya bersama Alva
bila jalan yang di pilih Alva adalah meninggalknnya ???
Tegakah Alva meninggalkan Nindy yang sudah mulai mencintainya ??